Polemik Amendemen UUD, Hamdan Zoelva Ingatkan GBHN Adalah Alat untuk Mengontrol Presiden

Jumat, 20 Agustus 2021 – 13:18 WIB
Hamdan Zoelva, saat masih jadi hakim MK, memimpin sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (13/8). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengkritik wacana amendemen UUD 1945 yang disuarakan MPR. Menurut dia, mengubah konstitusi tak bisa sembarangan.

Hamdan mengatakan, tidak ada urgensi negara untuk melakukan amendemen UUD 1945 pada saat ini. Apalagi, hampir dua tahun belakangan, negara tengah dilanda pandemi Covid-19.

BACA JUGA: Amendemen UUD Membuka Peluang Presiden Kembali Dipilih MPR

“Masalah besar paling nyata adalah pandemi, kemudian akibat pandemi terjadi masalah ekonomi, masalah akan bertambahnya penduduk yang miskin dan masalaah sosial lainnya. Pertanyaannya apakah masalah itu karena persoalan UUD? Apakah karena tidak adanya GBHN atau PPHN?” jelas Hamdan dalam sebuah pernyataan di Youtube, Jumat (20/8).

Hamdan memahami maksud dan tujuan MPR akan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau kini disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Namun dia mencatat, persoalan justru bukan pada pembangunan yang tidak konstan akibat belum memiliki PPHN.

BACA JUGA: Saiful Mujani: Amendemen Upaya Menghidupkan GBHN, Harus Dilawan

“Mungkin boleh kita tanya, gara-gara konstutusi atau gara-gara politisi yang berubah-ubah? Saya sih berkesimpulan politisinya yang memandang persoalan dari sisi lima tahunan. Konstitusi itu jangka panjang, kalau 5 tahunan pasti akan berubah-ubah tidak mungkin konstan seterusnya,” tegas Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Syarikat Islam (SI) ini.

Sehingga Hamdan mengatakan, dalam kontens pembangunan jangka panjang, persoalan yang terjadi bukan karena konstitusi. Tapi konsistensi para politisi. Sebab, soal pembangunan, kata dia, RI sudah memilik Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang disusun untuk 25 tahun.

BACA JUGA: Merespons Wacana Amendemen UUD 1945, Demokrat: Tidak Bijaksana

“Ini tidak pernah dlihat, tidak konsisten, lalu pertanyaannya, tidak konsistennya apa, apa sumbernya konstitusi atau tidak? Dari hasil riset kita, tidak konsisten pengambilan kebijakan politik, bukan bersumber dari konstitusi,” ungkap Hamdan.

Dia juga menyingung GBHN era Soekarno dan Soeharto. Menurut dia, pada tahun 1960 sampai 1967, GBHN disusun berdasarkan pidato Soekarno yang ditetapkan dalam TAP MPR.

Kemudian era Soeharto, GBHN dibuat melalui Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang ditetapkan oleh MPR menjadi GBHN. Seluruh perencanaan pembangunan dibuat oleh eksekutif dalam hal ini presiden.

“Sekarang GBHN siapa yang buat? Kalau diliat Ketetapan MPR, (berarti) MPR yang buat. Kalau MPR yang buat apa melibatkan presiden? Ini jadi soal. Jadi MPR nyusun sendiri, presiden punya sendiri, kan jadi soal dalam implementasi,” katanya.

Menurut Hamdan, GBHN sudah tidak lagi relevan diterapkan dalam sistem ketatanegaraan saat ini. Sebab, UUD 1945 sudah berubah.

Lebih dalam, Hamdan menjelaskan, dulu MPR lembaga tertinggi negara yang membuat GBHN. Presiden merupakan mandataris dari MPR. Sehingga, apabila presiden tak bisa menjalankan mandat, DPR bisa mengundang MPR. Sidang istimewa digelar.

“Kalau dianggap tidak mampu maka presiden bisa diberhentikan oleh MPR,” tegas Hamdan.

Hamdan mencontohkan, soal pemberhentian presiden, harus mengubah pasal 7 UUD karena bisa dilakukan jika presiden melanggar hukum. Kemudian pasal 24c juga harus diubah, karena saat ini pemberhentian presiden harus melalui pendapat MK.

Lantas Hamdan pun kembali mempertanyakan, apabila dalam implementasinya tak bisa berujung pada pemberhentian presiden, PPHN menjadi tidak berguna.

Pasalnya, GBHN pada masanya merupakan alat untuk mengontrol kinerja presiden.

“Sekarang siapa tanggung jawab? Dulu presiden, dan MPR meminta pertanggungjawaban. Ini dua hal, pertama dari aspek urgensi, kemudian kedua dari aspek substansi. Keduanya tidak masuk,” ujar dia.

“Jadi ini rada aneh, jangan mengubah konstitusi parsial, tidak melihat sebagai satu sistem yang utuh, rusak negara ini jadinya,” pungkas Hamdan. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler