Polemik RUU HIP, HNW: Baleg DPR Harus Pertimbangkan Penolakan Publik

Selasa, 16 Juni 2020 – 22:17 WIB
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid. Foto: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid menyebut penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dilakukan secara kontroversial, mendapat penyikapan kritis, bahkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat.

Oleh karena itu, sudah semestinya jika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memperhatikan secara seksama tanggapan yang datang dari berbagai masyarakat.

BACA JUGA: Ketua MPR RI dan Mensos Serahkan Sembako Banpres Kepada Para Veteran

“Terdapat catatan saat rapat di Baleg agar TAP MPRS No XXV/1966 dimasukkan dalam konsiderans dan agar mencabut pasal yang sebutkan Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan dan lain-lainnya, ternyata tidak diakomodasi, dan itu menjadi catatan terhadap RUU HIP tersebut,” kata Hidayat melalui siaran pers di Jakarta, Senin (15/6).

Belakangan memang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pengusul awal RUU itu akhirnya berubah dan setuju memasukkan TAP MPRS No XXV/1996 yang mengatur larangan komunisme sebagai konsiderans dan menghapus Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) yang memunculkan kembali istilah Pancasila Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan.

BACA JUGA: Soal RUU HIP, HNW: Baleg DPR RI Seharusnya Pertimbangkan Penolakan Publik

Setelah PDI Perjuangan berubah dan setuju dimasukkannya TAP MPRS No XXV/1966 soal PKI sebagai Partai terlarang, dan larangan penyebaran dan pengajaran komunisme ke dalam konsiderans mengingat RUU HIP, kata Hidayat maka semua fraksi di DPR secara terbuka sepakat untuk masih tetap berlakunya ketentuan hukum bahwa PKI adalah Partai terlarang, dan juga larangan penyebaran serta pengajaran komunisme, marxisme dan  leninisme.

“Setelah PDI Perjuanhan menerima masuknya TAP MPRS noXXV/1966 dalam konsiderans RUU HIP, maka tidak ada lagi Fraksi di DPR yang menolak dimasukkannya TAP MPRS no XXV/1966 ke dalam RUU HIP. Tetapi Publik sudah menyikapi sangat kritis terhadap RUU HIP ini, bukan lagi hanya soal tak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966, juga “kecolongan” penyebutan Trisila dan Ekasila, tetapi masalah-masalah dalam RUU HIP ini mereka dapatkan tersebar di beberapa pasal, yakni seperti yang ada Pasal 4, 5, 6 dan 8 RUU itu,” kata Hidayat.

BACA JUGA: Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan Minta Pembahasan RUU HIP Dihentikan

Menurut HNW, Baleg DPR RI harus memperhatikan suara Rakyat ini. Sehingga kalaupun RUU HIP itu tetap akan dibahas maka perlu ada perombakan yang mendasar dalam batang tubuh maupun naskah akademiknya.

“Larangan Komunisme serta Pancasila yang bukan Trisila atau Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsiderans, tetapi juga benar-benar tergambar dalam norma batang tubuh RUU itu,” ujarnya.

Hal ini sejalan dengan penolakan atau kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Purnawirawan TNI/Polri dan berbagai Ormas atau kelompok2 masyarakat yang menolak RUU itu.

“Selain MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, Para Pakar, ICMI, bahkan Purnawirawan TNI/Polri dan kelompok-kelompok masyarakat lain juga menolak secara terbuka RUU HIP ini, antara lain karena tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS Nomor XXV/1966. TAP MPRS yang masih berlaku, relevan dan diyakini akan membentengi Pancasila dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan sudah 2 kali melakukan pemberontakan terhadap Negara Indonesia serta adanya pengaburan dengan penyebutan Pancasila yang menjadi Trisila dan Ekasila. Juga catatan kritis lainnya yang menilai bahwa RUU HIP seperti ini justru mendowngrade Pancasila yang sebenarnya, yaitu Pancasila 18/8/1945 yang ada dlm Pembukaan UUDNRI 1945. Itu semua penting didengarkan dan dipertimbangkan oleh Baleg DPR RI,” tegasnya.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai ketika FPDIP sebagai pengusul awal RUU tersebut berubah sikap dengan menerima TAP MPRS XXV/1966 dan mengusulkan ideologi-ideologi lainnya, serta penghapusan Pasal 7 soal Trisila dan Ekasila, maka rasionalnya, naskah akademik dan draft RUU ini juga perlu dibuat ulang, dan diubah secara mendasar.

Karena terjadinya perubahan yang mendasar pada konsideransnya, akan berimplikasi kepada landasan yuridis dan landasan sosiologis akibat reaksi penolakan dari banyak pihak, maka sebaiknya RUU HIP ini ditarik terlebih dahulu oleh Baleg dan tidak dilanjutkan pembahasannya.

“Perlu disiapkan naskah akademik dan diperbaiki kontennya sesuai dengan kebenaran sejarah dan sesuai juga dengan kritik serta  saran dari Rakyat, Pakar, Purnawirawan TNI/Polri, Ormas,” kata Hidayat lagi.

HNW menjelaskan dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan penolakan masyarakat, saat Baleg merevisi naskah akademik, ini maka pengusul dari Baleg juga dapat mempertimbangkan ulang apakah RUU ini memang perlu dipaksakan untuk dilanjutkan dibahas dan disahkan. Atau malah dihentikan saja. Karena penjabaran dan haluan ideologi Pancasila sudah disepakati dan itu terdapat dalam Pembukaan UUD dan dalam Bab/pasal/ayat2 UUDNRI 1945.

Hidayat mengingatkan ada problem ketatanegaraan apabila RUU HIP ini dipaksakan untuk dilanjutkan dan disahkan.

Pancasila adalah grundnorm (norma dasar) yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Nilainya sebagai norma dasar memang bersifat umum tetapi yang disepakati oleh para Founding Fathers. Jangan lah Pancasila didowngrade melalui UU kontroversial seperti ini. Tetapi apabila mau dibuat penjabaran lagi, maka seharusnya dilakukan di Batang Tubuh UUD 1945, melalui amandemen terhadap UUD, bukan diatur dalam UU apalagi yang kontroversial seperti RUU HIP ini.

Menurut Hidayat, apabila nilai-nilai Pancasila itu diatur dalam UU khusus seperti RUU HIP, maka bagaimana bila nanti UU itu diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini seakan lompat, dari Pancasila dalam pembukaan ke pengaturan dalam UU.

“Itulah mengapa masyarakat  menolak RUU HIP ini, yang selain kesannya melompat dari Pembukaan ke UU dengan melangkahi UUD, RUU HIP ini malah menambah kegaduhan publik, di saat Rakyat dan Pemerintah lagi sangat direpotkan dengan bencana kesehatan nasional; Covid-19,” katanya.

“Semestinya yang hadir adalah ketentuan UU yang kuatkan pengamalan Pancasila, agar berkontribusi atasi covid-19 dan dampak-dampaknya,” pungkas HNW.(jpnn)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler