BACA JUGA: Terkait TAA, Kristina Bersaksi
Sebelumnya, pada Senin malam, telah dilakukan dialog dengan Eros Djarot, bersama Lembaga Swadaya Pemerintah, Budayawan, Seniman dan wartawanKoordinator AKBS, Kelik Ismunandar, mengungkapkan, pelarangan ini sangat identik dengan rezim Orde Baru
BACA JUGA: PGN Tak Turunkan Harga Jual ke PLN
"Pada jaman itu segala hal diberangus dengan dalih stabilitas dan keamanan yang ujungnya hanyalah untuk mempertahankan kekuasaanBACA JUGA: Dikecam, Penghentian Paksa Syuting Lastri
Tak hanya dalam ranah politik, di ranah seni dan budaya pun menjadi korbanEntah sudah berapa banyak lagu-lagu yang mengandung kritik sosial, atau film-film yang berbau kritisisme dilarang beredar.Saat ini, lanjutnya, dengan metode yang sama dengan yang diterapkan oleh Orde Baru, sekelompok orang mencoba untuk menjadi Soeharto baru dengan paham antikomunismenya"Walaupun mereka tidak tahu sama sekali tentang paham ituPemahaman ini menjadi alat legitimasi untuk melakukan tindak kekerasan yang berujung pada penolakan syuting film yang skenarionya ditulis oleh Eros Djarot berjudul Lastri," katanya
Dia mengatakan, kekerasan dengan dalih penyebaran ajaran komunisme menjadi senjata yang ampuh untuk “menuduh” orang yang tidak sepaham dengan kelompoknya"Ini sebuah ironi di tengah kebebasan dan hak untuk berekspresi," ungkapnya.
Indonesia sendiri telah meratifikasi UU No 11 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya, dan UU No 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, serta UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Tidak hanya di Solo, di daerah lain pun dilakukan mobilisasi untuk melakukan penolakan terhadap film tersebut, padahal tidak ada satu pun dari mereka yang mengerti bagaimana alur cerita, pesan apa yang disampaikan oleh film tersebut," paparnya. Penolakan tersebut, kata Kelik, disertai dengan ancaman yang menjurus pada praktik kekerasanHal yang mengejutkan dalam permasalahan ini, Polisi sebagai pengawal sistem negara tidak berbuat apa-apa terhadap adanya ancaman yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang menolak keberadaan film tersebutYang menjadi permasalahan di sini bukan filmnya ataupun sutradaranya, melainkan pada persoalan dipasungnya kebebasan berkarya, berekspresi dan mengaktualisasikan dalam kerangka kebudayaan
Dalam konteks Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM bukanlah sekadar melakukan tindakan seperti halnya dalam hukum pidana yang dianut oleh Indonesia, pembiaran juga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAMKetika polisi melihat kejadian di mana terdapat ancaman, namun membiarkan kejadian itu padahal memiliki wewenang untuk melakukan perlindungan, maka polisi dapat dikatakan telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hak
"Apabila hal tersebut dibiarkan maka akan menjadi preseden buruk bagi penyampaian kebebasan berekspresi yang merupakan Hak Asasi Manusia," tambahnyaUntuk itu, AKBS, menuntut Kepolisian untuk melakukan penegakan Hak Asasi Manusia sesuai yang tercantum dalam UUD 1945, UU no 39 tahun 1999, dan UU no 11 dan 12 tahun 2005Selain itu, AKBS menuntut agar menindak tegas aparat yang melakukan pembiaran ketika terjadinya ancaman oleh kelompok- kelompok tertentu yang hadir dalam dialog dengan kru film Lastri.(lev)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pertemuan G-20 Tak Membawa Perubahan
Redaktur : Tim Redaksi