jpnn.com - JAKARTA – Praktik politik uang yang dilakukan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti-Rohidin Mersyah terus mendapat sorotan.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai, politik uang yang terjadi di Pilgub Bengkulu tersebut masuk kategori pelanggaran berat Pilkada.
BACA JUGA: Bisa Usung Calon Sendiri, PDIP Tetap Buka Pintu untuk Partai Lain
“Kasus di Bengkulu itu sebenarnya masuk pelanggaran berat,” kata anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak kepada wartawan di Jakarta, Rabu (6/1).
Karenanya, kasus ini mesti dibuktikan di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dan pidana umum karena memang Undang-Undang (UU) Pilkada belum mengatur prosedur penanganan kasus politik uang secara jelas rinci.
BACA JUGA: Usut Tuntas Keterlibatan Militer di Pilkada Kepri
Menurut Nelson, seharusnya prosedur penanganan politik uang diatur secara rinci di dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau UU Pilkada. Sehingga, Pilkada itu dapat dipastikan prosesnya berlangsung luber dan jurdil.
“Saat ini, kami juga kesulitan untuk menindaklanjuti meski sudah ada putusan DKPP. Bawaslu tak bisa gunakan putusan DKPP untuk rekomendasikan pembatalan pasangan calon ke KPU,” jelas Nelson.
BACA JUGA: Versi KPU, Seluruh Gugatan Pilkada asal Sumut tak Layak Disidangkan
Sebelumnya, pakar hukum Yusril Ihza Mahendra mendesak KPU Provinsi Bengkulu membatalkan pasangan calon Ridwan Mukti-Rohidin Mersyah. Pasalnya, pasangan calon ini terbukti telah memberikan uang sebesar Rp5 juta kepada anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Singaran Pati bernama Ahmad Ahyan yang telah dijatuhi sanksi pemberhentian tetap oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 12 November 2015 lalu.
Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni mengatakan, ada dua jalur yang dapat digunakan untuk membuktikan kasus politik uang tersebut, yakni melalui sidang di MK dan pidana umum.
Di sisi lain, bila putusan hukum keluar pasca dilantiknya pasangan calon terpilih yang terbukti melakukan politik uang, maka pasangan calon tersebut sepatutnya bisa dibatalkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah defenitif.
“Saya sepakat ini pelanggaran berat, meski tidak bisa serta merta meminta Bawaslu dan KPU untuk membatalkannya. Walau sudah dilantik nantinya dan terbukti melakukan politik uang, bagi saya sepatutnya bisa dibatalkan sebagai gubernur dan wakil gubernur,” ujar Titi. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pilkada Kalteng Butuh Rp 12 Miliar, Duitnya Belum Ada
Redaktur : Tim Redaksi