Politikus Gerindra Setuju Terduga Teroris Ditangkapi Sebelum Ada Bom

Senin, 18 Januari 2016 – 00:05 WIB
Martin Hutabarat. Foto: dok.Indopos/JPNN

jpnn.com - JAKARTA – Peristiwa peledakan bom beruntun di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, Kamis (14/1), melecut pemerintah fokus pada upaya pencegahan agar kasus serupa tidak terjadi lagi.

Setidaknya ada tiga petinggi Jakarta yang mulai menggagas perubahan di level regulasi. Pertama, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan mendorong revisi Undang-undang (UU) No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

BACA JUGA: Peserta Ekspedisi Papua Barat Jangan Alergi Terhadap Perbedaan

Lewat revisi ini, diharapkan dimasukkan ketentuan yang memberikan kewenangan bagi polisi untuk menahan orang yang “sudah patut diduga” sebagai anggota teroris.

Kedua, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso meminta dilakukan revisi terhadap UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang intelijen Negara. Selama ini, UU itu hanya memberikan kewenangan kepada BIN untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi. Lewat revisi, Sutiyoso berharap anak buahnya diperbolehkan melakukan penangkapan atau penahanan terhadap terduga teroris.

BACA JUGA: Selain Fahri Hamzah, Politikus PDIP Juga Marah ke Penyidik KPK

Sementara, Mendagri, Tjahjo Kumolo akan membuat payung hukum, sebagai dasar bagi pemda agar bisa mengyalurkan dana APBD untuk kebutuhan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) dan forum kemasyarakatan. Hal ini dianggap penting agar koordinasi pemerintah dan masyarakat untuk mendeteksi dini gerakan radikal bisa lebih optimal.

Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat menyatakan setuju dengan gagasan Luhut. Bahkan, agar bisa lebih cepat prosesnya, Martin mendorong agar diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

BACA JUGA: Paha Bawahnya Koyak, Proyektil Bom Bersarang di Tubuhnya

“Saya harap Presiden tidak perlu ragu untuk mengeluarkan Perppu ini, asal isinya betul-betul dibicarakan secara mendalam oleh BNPT, Polri,, TNI, BIN, Kumhan, dan sebagainya,” ujar Martin kepada JPNN kemarin (17/1).

Beberapa alasan disampaikan Siantar Man itu. Pertama, keinginan merevisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pmberantasan Tindak Pidana Terorisme sebenarnya sudah lama dimintakan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).

“Namun DPR tidak pernah serius meresponnya. Dalam prolegnas Tahun 2015, revisi UU terorisme tidak masuk menjadi prioritas,” terangnya.

Apabila Perppu dikeluarkan, kata Martin, akan mamaksa DPR harus membahasnya karena konstitusi membatasi waktu untuk menyatakan sikap bisa diterima atau ditolak Perppu itu menjadi UU, sampai persidangan DPR yang berikut.

Terlebih lagi, lanjut anggota DPR dari Sumut itu, pengalaman tahun lalu menunjukkan kinerja DPR sangat buruk dalam bidang legislasi. Dari 40 RUU yang masuk Prolegnas, hanya 3 UU yang berhasil dibuat. “Oleh karena itu, apabila revisi UU terorisme ini, akan lama tindak lanjutnya oleh DPR. Saya menyarankan sebaiknya presiden mengeluarkan Perppu,” imbuhnya lagi.

Alasan kedua, dijelaskan Martin, UU Nomor 15 Tahun 2003  juga adalah UU yang disahkan dari Perppu No 1 Tahun 2002 yang dibuat Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai respon terhadap tragedy bom bunuh diri pertama di Bali tahun 2002.

Ketiga, saat ini kondisinya tepat untuk mengeluarkan Perppu, setelah tragedi bom Sarinah.”Perpu ini dalam kondisi sekarang bisa diterima masyarakat, dengan alasan kepentingan yang memaksa,” pungkas anggota Baleg DPR itu. (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dana untuk Kebiri Pelaku Sebaiknya untuk Korban


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler