jpnn.com - JAKARTA - Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) di DPR, Tjatur Sapto Edy mensinyalir tudingan terhadap mantan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa oleh ekonom Faisal Basri merupakan skenario tersembunyi yang diperankan Faisal, guna mengembalikan Indonesiai menjadi bangsa kuli dengan menjual bahan mineral mentahnya.
"Dugaan saya beliau ini sedang memainkan satu peran. Saya susah bicaranya karena bagaimanapun beliau saudara kami, tapi Insya Allah kami sangat paham," kata Tjatur saat dihubungi, Kamis (28/5).
BACA JUGA: Jumat, JK Pertemukan Ical-Agung
Adanya skenario tersembunyi menurut Tjatur, bukan tanpa alasan. Karena dalam waktu yang hampir berdekatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said juga mengeluarkan pernyataan yang bernada menyerang mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, Sudirman menyebut banyak kasus mafia migas yang penanganannya berhenti di meja Presiden.
Nah, Tjatur melihat benang merah bahwa skenario ini dimainkan oknum pejabat di pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. "Ada oknum pemerintah sekarang yang mencoba melanggar Undang-undang no. 4 tahun 2009. Dan ada upaya pihak tertentu agar Indonesia kembali menjadi bangsa kuli yang hanya menjual ciptaan tuhan," ujarnya.
BACA JUGA: Empat Poin Islah Golkar, Satu Masih Alot
Faisal disebut-sebut memberi label Hatta sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini. Bahkan, Faisal menilai apa yang dilakukan Hatta saat menjabat sebagai menteri ada kaitannya dengan langkah dia untuk maju dalam Pemilu Presiden 2014 lalu.
Tjatur mengatakan, Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Di Dalam Negeri sudah sesuai dengan amanah UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara khususnya pasal 102, 103 dan 170.
BACA JUGA: Kapolri: Itu Tindakan Pidana
Sehingga, setiap perusahaan pertambangan yang telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) atau IUP khusus yang sudah beroperasi wajib melakukan pemurnian hasil pertambangannya di dalam negeri. Kemudian, perusahaan kontrak karya juga wajib membangun tempat pemurnian atau smelter selambat-lambatnya lima tahun setelah UU itu disahkan.
"UU itu disahkan pada 12 Januari 2009, sehingga penerbitan Permen ESDM tersebut sudah sesuai dengan amanah UU karena diterbitkan selambat-lambatnya pada 12 Januari 2014. Kalau Pemerintah tidak menerbitkan permen itu, itu artinya beliau melanggar amanah UU dan itu berdampak presiden bisa diimpeach," tegasnya.
Mantan Ketua Fraksi PAN ini mengakui dalam jangka pendek penerapan UU dan Permen tersebut memang berdampak pada pengurangan devisa yang masuk. Pasalnya, belum semua perusahaan pertambangan yang siap dan telah memiliki smelter. Meski demikian negara juga tidak mengalami kerugian karena barang hasil tambang perusahaan itu masih utuh dan tidak bisa dibawa keluar.
Penerapan regulasi ini, kata Tjatur, juga tak sedikit mendapat penolakan. Bahkan, penolakan sudah terjadi sejak UU itu dibahas pada 2009 lalu antara pemerintah dengan DPR. Namun, ia mengapresiasi, kinerja pemerintah dan DPR saat itu yang telah berkomitmen untuk meningkatkan nilai jual hasil pertambangan.
"Memang kebijakan ini bagi orang-orang neolib, para pemburu rente, dan penghamba Washington Consensus adalah kebijakan yang tidak populer. Negara-negara besar tidak suka melihat Indonesia menjadi negara besar, karena kebijakan ini merupakan kebijakan yang cenderung protection nationalism," tandasnya. (fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kok Beda dengan Sucofindo? Ini Jawaban Kepala BPOM
Redaktur : Tim Redaksi