jpnn.com - Pada penghujung Oktober lalu, Bawaslu menggelar rapat koordinasi nasional tentang netralitas ASN, TNI dan Polri dalam pemilu 2024 di Pulau Dewata Bali.
Turut hadir sebagai narasumber perwakilan petinggi TNI, Polri dan Komisi ASN.
BACA JUGA: Eks Napiter Abu Fida Ingin Wujudkan Pemilu 2024 yang Damai
Sebelumnya Bawaslu juga merilis Indeks Kerawanan Pemilu tentang netralitas ASN. Menurut data Bawaslu, pada pemilu 2019 terdapat 999 penangangan pelanggaran terkait netralitas ASN dan 91% perkara tersebut terbukti sehingga Bawaslu merekomendasikan kepada Komisi ASN.
Diskursus mengenai dikotomi antara politik dan birokrasi telah menjadi kajian klasik di bidang ilmu politik dan pemerintahan.
BACA JUGA: Densus 88 Ungkap Rencana 2 Tersangka Teroris Ini Menggagalkan Pemilu 2024
Sebagian besar pakar hukum administrasi negara berkeyakinan bahwa birokrasi harus netral dari pengaruh kepentingan politik.
Menurut Maximilian Carl Emil “Max” Weber (1864-1920), sosiolog dan ekonom-politik Jerman, birokrasi harus melayani semua pihak dan tidak dikendalikan oleh motif politik kekuasaan sehingga pada akhirnya tidak dapat berlaku profesional dan fairness.
BACA JUGA: 2 Tersangka Terorisme yang Berencana Menggagalkan Pemilu 2024 Ditangkap Densus 88
Mendalami problematika tentang politisasi birokrasi dalam perebutan kekuasaan pemilu, Pasal 282 UU 7 Tahun 2017 mengatur bahwa pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Selanjutnya, pejabat negara, pejabat struktural, pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta ASN dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye.
Lalu bagaimana dengan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota.
Mereka jika ingin melakukan aktivitas kampanye, maka tidak boleh memakai fasilitas negara dan harus mengajukan cuti diluar tanggungan negara. Dalam hal pengajuan cuti mereka harus memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Mari kita bedah tentang pengertian dari frasa “menguntungkan atau merugikan”.
Pada dasarnya berkaitan erat dengan perbuatan hukum seseorang yang sedang memegang jabatan publik dalam melakukan tindakan yang melawan hukum. Tindakan tersebut dapat membawa dampak yang menguntungkan atau merugikan pihak tertentu dalam sebuah proses kontestasi pemilu. Dalam konteks pemilu, tindakan hukum semacam ini dinilai melanggar prinsip netralitas pelayanan publik.
Dalam konteks tindak pidana pemilu, keterpenuhan unsur menguntungkan dan/atau merugikan ini seringkali menjadi materi perdebatan. Apakah merupakan delik formil atau delik materiil. Dalam makna, apakah pembuktian keterpenuhan unsur ini harus berdasarkan fakta adanya pihak yang mendapatkan keuntungan atau dirugikan (delik materiil). Ataukah pembuktiannya lebih didasarkan pada perbuatan hukumnya (delik formil).
Perdebatan serupa muncul dalam ketentuan tentang unsur merugikan keuangan negara dalam UU 31 Tahun 1999 juncto UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam konteks ini, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PUU-III/2006 menegaskan, unsur merugikan negara adalah delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan ada tidaknya kerugian negara, tetapi cukup membuktikan telah adanya perbuatan melawan hukum.
Selanjutnya, jika kita mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi serta mempertimbangkan tingkat kesulitan dalam pembuktian serta limitasi waktu dalam hukum acara tindak pidana pemilu, maka pemaknaan frasa “menguntungkan dan/atau merugikan” semestinya dapat dimaknai sebagai delik formil dalam arti delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana oleh undang-undang.
Peraturan perundang-undangan mengatur secara jelas mengenai larangan ASN dan batasan netralitas yang memiliki konsekuensi pelanggaran netralitas.
Akan tetapi, selain tindakan-tindakan yang dianggap melanggar netralitas dan berdampak adanya rekomendasi Bawaslu terhadap pelanggaran netralitas. Undang-undang pemilu juga mengatur mengenai tindakan ASN yang tidak saja sekadar melanggar prinsip netralitas, tetapi juga masuk ranah tindak pidana pemilu.
Gagasan pengawasan terhadap netralitas ASN mestinya berangkat dan sejalan dengan ilmu manajemen birokrasi melalui pendekatan merit system, sehingga konsep pengembangan jenjang karir hanya bertumpu pada sumber daya manusia yang unggul sesuai dengan prestasi kerja.
Hal ini dapat membantu mereka memegang teguh prinsip profesionalitas dan netralitasnya. Pendekatan merit system ini dapat memperkecil ruang gerak keterlibatan mereka dalam pemilu.
Pada akhirnya, netralitas birokrasi dapat dimaknai sebagai sikap imparsialitas. Rumusan imparsialitas sebagai kesetaraan politik, yaitu perlakuan yang tidak memihak dalam melaksanakan wewenang publik berdasarkan undang-undang. Selain itu, semangat meritokrasi mesti menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan publik, tidak atas dasar pertimbangan preferensi pribadi, tetapi mengacu pada prestasi kerja.
Dengan demikian, imparsialitas menjadi nilai fundamental yang harus dijadikan sabuk pengaman oleh birokrat dalam perebutan kekuasaan pemilu.(***)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari