Juru bicara Partai Buruh Australia urusan Pertahanan Senator Stephen Conroy menuduh China melakukan bully terhadap negara lain terkait Laut China Selatan, mengakui bahwa Australia hanya berpura-pura melakukan patroli reguler di kawasan itu.
Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan bahwa China tidak memiliki hak historis terhadap perairan Laut China Selatan, dan keputusan tak mengikat ini ditepis mentah-mentah oleh pemerintah di Beijing.
BACA JUGA: Sydney Market Juga Menjual Ikan Asal Indonesia
"China telah menunjukkan aksi agresif dan bully, dan sekarang telah diperingatkan oleh mahkamah internasional," kata Senator Conroy kepada Radio National, salah satu radio ABC hari Rabu (13/7/2016).
Sebelumnya Menlu Julie Bishop memperingatkan China untuk mengindahkan keputusan yang ditetapkan di Den Haag. Menlu Bishop mengatakan, "Mengabaikan keputusan itu merupakan pelanggaran internasional serius, akan ada biaya reputasi yang mahal".
BACA JUGA: Terapi Kucing Untuk Tenangkan Siswa SMA yang Hadapi Ujian
Dia mengatakan Australia akan melanjutkan hak Kebebasan Navigasi di kawasan itu, namun tidak memastikan apakah Australia akan melakukan patroli di dalam wilayah 12 mil laut dari pulau-pulau buatan China.
" Australia akan tetap menjalankan hak Kebebasan Navigasi dalam hukum internasional dan penerbangan, dan mendukung hak negara lain untuk melakukan hal yang sama," katanya.
BACA JUGA: ELL: Lima Istilah Populer di Media Sosial
Namun Senator Conroy mengatakan secara pribadi dia telah menanyai staf Departemen Pertahanan dalam dengar pendapat di Senat dan para staf itu menjelaskan bahwa mereka tidak mendapat otorisasi untuk menjalankan hak Kebebasan Navigasi.
"Pemerintah terus berpura-pura kepada rakyat Australia bahwa pemerintah memiliki program yang sedang berjalan yang merujuk pada operasi Kebebasan Navigasi pada dan di sekitar Laut China Selatan," uajr Senator Conroy.
"Australia harus mengizinkan kekuataan (militernya) untuk berlayar dan terbang di wilayah Laut China Selatan," tegasnya.
Senator Conroy mengatakan aksi-aksi yang melibatkan Angkatan Laut dan Angkatan Udara tidak boleh dikabarkan terlebih dahulu.
Peringatan terkait kemungkinan zona pertahanan udara
Filipina merayakan keputusan itu dengan berhati-hati, seraya menegaskan komitmen mereka pada "resolusi damai dan manajemen sengketa" di wilayah itu.
Sementara China menegaskan tidak akan menaati keputusan itu, dan Kementerian Luar Negeri menyatakan rakyat China memiliki sejarah selama 2000 tahun di Laut China Selatan. Dikatakan pula bahwa China telah mengumumkan apa yang disebut peta "nine-dash" (9 garis putus-putus) di tahun 1948.
Pakar hukum internasional dari ANU Professor Donald Rothwell memperingatkan sengketa ini berpotensi menyeret Australia ke dalam konflik dengan China.
Professor Rothwell mengatakan reaksi Pemerintah China atas keputusan itu "sengit", namun dia mengatakan sulit memperkirakan aksi apa yang akan dilakukan dalam jangka panjang.
"Tentunya ada beberapa skenario. Yang terburuk adalah reaksi China berupa deklarasi zona identifikasi pertahanan udara," kata Prof. Rothwell kepada ABC.
"Hal itu, saya kira, memiliki akibat serius bagi kawasan," katanya seraya menambahkan, hal ini "hampir pasti" menyeret Australia ke dalam konflik dengan China.
"Hal itu akan bermakna bahwa seluruh pesawat Australia yang lewat di kawasan itu harus mengidentifikasikan diri, dan hal itu akan menimbulkan masalah serius bagi Qantas misalnya bagaimana mereka akan merespon aksi itu," katanya.
Diterbitkan Pukul 11:00 AEST 13 Juli 2016 oleh Farid M. Ibrahim. Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Larangan Iklan Selama Masa Tenang Dianggap Kuno