jpnn.com, JAKARTA - Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) dan Advokat Peradi Petrus Selestinus mengatakan peristiwa baku tembak antara pasukan Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang mengawal Mohammad Rizieq Shihab (MRS) dengan aparat Polda Metro Jaya ketika melaksanakan penyelidikan di Km. 50, Krawang, Tol Jakarta-Cikampek, pada 7 Desember 2020, tidak boleh dilihat sebagai peristiwa yang bersifat insidentil.
Menurut Petrus, insiden tersebut harus dilihat secara konprehensif dengan rentetan peristiwa lain sebelumnya.
BACA JUGA: Habib Rizieq Tersangka, Respons Novel PA 212 Menohok Kapolda Irjen Fadil Imran
“Sudah menjadi fakta yang notoire feiten, bahwa MRS dan kelompoknya dalam berbagai aktivitas ceramah, diskusi dan lain-lainnya sering menggunakan narasi, diksi atau gambar yang bermuatan menebar kebencian, teror, ancaman kekerasan, pesan kebencian, penistaan agama dan lain-lain sebagaimana rekaman videonya beredar secara luas, menimbulkan rasa takut yang meluas, sehingga memenuhi unsur-unsur dalam Tindak Pidana Terorisme,” kata Petrus dalam keterangan tertulis, Kamis (10/12/2020) malam.
Lebih lanjut, Petrus mengatakan apa yang dilakukan oleh MRS dan kelompoknya harus dilihat secara konprehensif dengan rentetan beberapa peristiwa yang terjadi sejak 2017 hingga insiden berdarah di Tol Jakarta-Cikampek, Km. 50, Kerawang Timur, tanggal 7 Desember 2020 lalu, sebagai perbuatan berlanjut yang bermotif ideologi atau politik yaitu ingin menjadikan Indonesia Negara Syariah.
BACA JUGA: Sah, 8 Perwira Tinggi TNI AL Resmi Naik Pangkat Termasuk Mayjen TNI Marinir Budi Purnama
Kualifikasi Delik Terorisme
Penjelasan resmi oleh Polri dan paparan bukti-bukti hasil olah TKP yang berhasil diamankan dalam peristiwa 7 Desember 2020, di Km 50 Krawang harus dirangkai sebagai peristiwa pidana terorisme yang berlanjut. Karenanya pertanggungjawaban dan mekanisme pertanggungjawabannya pun tunduk pada instrumen UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
BACA JUGA: Brigjen TNI Marinir Hermanto: Perjuangan Belum Selesai
“Instrumen UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Tindak Pidana Terorisme, digunakan karena Terorisme mengandung unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror dan rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, dan lain-lain dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan,” kata Petrus
Menurut Petrus, unsur ancaman kekerasan didefinisikan sebagai setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non elektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.
Usut Tuntas Dana Kotak Amal
Petrus mengatakan dengan memperhatikan kompleksitas permasalahan yang muncul dan unsur-unsur dalam ketentuan UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka MRS dan kelompoknya dapat dikenakan tindakan kepolisian berdasarkan UU No. 5 Tahun 2018 dan KUHAP. Karena selama ini MRS patut diduga sedang melakukan aktivitas bermotif politik, ideologi dan gangguan keamanan dengan cara-cara teror seperti dimaksud dalam UU ini.
Dalam pada itu, penjelasan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Awi Setiyono kepada pers, 7 Desember 2020, mengungkap fakta bagaimana para teroris beroperasi dengan dana yang berasal dari Kotak Amal, yang tersebar hampir di seluruh Indonesia, digunakan untuk; memberangkatkan anggota ke Suriah, pelatihan militer hingga pembuatan senjata.
“Ini juga harus dihentikan dan diusut tuntas dengan instrumen UU Terorisme,” tegas Petrus.(fri/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Friederich