Kepolisian Indonesia mengerahkan hampir seribu orang personil tambahan untuk mengendalikan situasi keamanan di Papua Barat, menyusul terjadinya aksi unjuk rasa yang memicu kerusuhan di sejumlah kawasan di Papua dan Papua Barat selama beberapa hari terakhir. Aksi kerusuhan di Papua:Bandwidth internet sengaja diperlambat pemerintah di wilayah tersebutPolisi Indonesia mengatakan 960 anggota polisi tambahan telah dikirim untuk "mengatasi" aksi unjuk rasaPengunjuk rasa diyakini bereaksi terhadap sebuah insiden di Surabaya yang terjadi akhir pekan lalu

BACA JUGA: Penyesalan Seorang Ayah di Jawa Barat Yang Mengkhitankan Putrinya

Kondisi keamanan di Papua dan Papua Barat berangsur pulih dan kondusif setelah dilanda kerusuhan dan aksi unjuk rasa di sejumlah kawasan sejak Senin (19/8/2019).

Seperti diketahui ribuan warga turun ke jalan berunjuk rasa menanggapi dugaan perlakuan rasis dan intimidasi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya atas tuduhan tiang bendera yang rusak pada akhir pekan lalu.

BACA JUGA: Tanpa Mahasiswa Tiongkok, Universitas di Australia Terancam Kesulitan

Dalam aksinya massa sempat membakar ban dan sejumlah gedung pemerintahan serta merusak bandara Sentani di Kota Jayapura.

Karopenmas Mabes Polri, Brigjen Polisi Dedi Prasetyo mengatakan sebanyak 960 perwira polisi tambahan dari sejumlah provinsi telah dikirim ke Papua untuk "menghentikan' aksi unjuk rasa..

BACA JUGA: Pekerja Tak Berani Berkata Dibayar Rendah, Tunggu Majikan Dijerat Hukuman Berat

"Situasi secara keseluruhan kondusif ... dan para demonstran telah setuju untuk menghentikan aksi protes mereka," katanya.

"Aparat dari kepolisian dan TNI serta Pemerintah setempat sekarang tengah membersihkan kekacauan yang tersisa dari aksi unjuk rasa yang terjadi."

Namun, sejumlah laporan di media lokal melaporkan kerusuhan masih terus berlanjut di beberapa kota, termasuk Fakfak, di mana para demonstran membakar kios-kios di pasar lokal.

Di Sorong, kota terbesar di provinsi Papua Barat, sebanyak 250 narapidana diyakini telah melarikan diri dari penjara, mereka membakar dan melemparkan batu ke fasilitas itu pada Selasa (20/8/2019) kemarin.

Sebuah rekaman aksi unjuk rasa di Kota Sorong yang diunggah ke Twitter menunjukan sejumlah pria berseragam militer berlari dan berteriak "Ambil senjatanya, anjing!" sebagai tanggapan terhadap pengunjuk rasa yang melempari mereka dengan batu.

Tidak lama kemudian, mereka dapat dilihat dalam sejumlah video berteriak, "Tembak ke arah langit, bukan ke depan [ke arah pengunjuk rasa]!"

Beberapa pengunjuk rasa selama dua hari terakhir terlihat mengenakan pakaian monyet sebagai bentuk respon mereka dalam menanggapi tuduhan bahwa anggota militer Indonesia, polisi dan publik telah meneriaki, "Monyet, keluar kamu" pada sekelompok mahasiswa Papua Barat yang terkepung di dalam asrama mereka. Photo: Massa aksi membentangkan spanduk berisi tulisan"Stop intimidasi dan rasisme terhadap warga Papua" selama aksi unjuk rasa. (AP: Safwan Ashari Raharusun)

Akses internet dibatasi

Informasi dari lapangan sulit untuk dikumpulkan karena pemerintah Indonesia membatasi pelaporan yang dilakukan terhadap jurnalis internasional di kawasan ini.

Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi Indonesia juga sengaja memperlambat akses internet di daerah sekitarnya, tetapi terutama di sekitar kota Sorong.

Keputusan itu dibuat untuk "menghentikan penyebaran informasi yang salah", demikian bunyi sebuah pernyataan dari kementerian Kominfo.

Pengacara hak asasi manusia Indonesia Veronica Koman mengatakan kepada ABC bahwa pembatasan ini telah mempersulit pengunjuk rasa untuk mengunggah foto dan video kerusuhan.

"Kami mengandalkan laporan dari orang Papua sendiri," katanya, seraya menambahkan bahwa keputusan Pemerintah Indonesia telah melanggar kebebasan informasi orang Papua.

Presiden Indonesia Joko Widodo direncanakan akan mengunjungi Papua setelah menyerukan agar orang Indonesia "saling memaafkan".

"Saya sadar bahwa ada beberapa yang tersinggung ... emosi diizinkan, tetapi pengampunan lebih baik. Kesabaran lebih baik," katanya dalam pidatonya, Senin (19/8/2019).

Akuisisi Indonesia atas Papua Barat telah menjadi penyebab ketegangan dan kontroversi selama lebih dari 60 tahun.

Aktivis kebebasan telah menuntut dilakukan referendum untuk menentukan apakah Papua Barat harus tetap menjadi bagian dari Indonesia.

Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasib Inovator Muda Bidang Kanker Muda di Indonesia Ditelantarkan Usai Juara

Berita Terkait