Poros Baru, Poros Indonesia Raya, Poros Apapun Namanya...

Kamis, 24 April 2014 – 13:04 WIB
Anggota Wantim Partai Golkar Mahadi Sinambela memberikan penjelasan pada acara Focus Group JPNN-Indopos mengenai Persaingan Menuju Istana Poros Nasionalis Vs Islam : Mitos atau Realita?, di Resto Meal & Meet, Jln Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (23/4). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - HASIL hitung cepat Pileg 9 April 2014 makin menarik dijadikan bahan simulasi koalisi parpol. Ibarat main kartu, semua berpotensi memainkan truf. Ibarat main catur, masih banyak yang bisa digeser kiri-kanan. Tak ada parpol yang menang telak 25 persen suara. Belum ada yang yakin dapat 20 persen kursi di DPR-RI. Harus menggandeng teman parpol! Di situlah utak-atik itu menjadi semakin seru.

Belum ada yang yakin 100 persen bisa mengantungi boarding pass untuk menerbangkan capres-cawapres sendiri. Apa akan bergabung dengan apa? Siapa hendak dipasangkan dengan siapa? Itu menjadi bahan analisis yang menarik dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar INDOPOS dan JPNN di Meal n Meet Restoran, Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (24/4).

BACA JUGA: PKS: Dahlan Bisa Muncul Jadi Capres Poros Baru Bentukan Demokrat

Kesimpulannya memang: masih liquid! Masih sangat cair, belum solid, belum teken kontrak. Masih penjajakan. Kecuali PDI-Perjuangan dan Nasdem yang memang sudah ”berjabat tangan.” Itulah poros PDIP-Nasdem, yang sudah jelas mencapreskan Gubernur DKI Joko Widodo di Pilpres 9 Juli nanti. Lainnya? Masih berhitung, masih menunggu hitungan KPU dan kepastian jumlah kursi. Ke-9 nara sumber, masih malu-malu kucing, menyembunyikan trufnya.

Mereka yang hadir adalah Marzuki Ali (Partai Demokrat), Drajad Wibowo (PAN), Fahri Hamzah (PKS), Ahmad Basarah (PDIP), Marwan Jafar (PKB), Fadli Zon (Gerindra), Mahadi Sinambela (Partai Golkar), Prof Hamka (PDIP), dan akademisi UI, Arie Junaedi. Bentuk ”malu-malu” mereka adalah jawaban-jawaban yang masih normatif.

BACA JUGA: Perbaiki Sistem Pendidikan Butuh Komitmen dan Konsisten

Seperti, harus menyesuaikan platform partai, melihat ideologi partai, tidak mau hanya bagi-bagi kursi menteri, tidak mau dagang sapi dengan posisi wapres, yang semua itu lebih pada menjaga diri agar tidak kelihatan trufnya, dulu. Politisi-politisi di atas memang pintar beranalisis, itu harus diakui. Karena itu, perbincangan selama 2,5 jam itu tetap menarik disimak. H Marzuki Ali SE, MM, yang statusnya masih Ketua DPR RI itu lebih blak-blakan.

Tokoh asal Palembang, Sumsel ini lebih tegas dan to the point. PD pasti akan berkoalisi untuk melanjutkan pemerintahan ke depan. ”Tinggal, yang bagus-bagus dilanjutkan, yang belum bagus disempurnakan, yang jelek dibuang! Tapi, dengan siapa, bentuknya seperti apa, itu belum diputuskan di internal partai,” kata Marzuki.

BACA JUGA: Sibuk Persiapkan UN Guru Tak Sempat Tingkatkan Kualitas

Dia mengakui, tidak ada parpol yang 100 persen mempertahankan idealisme dan platform partai. Apalagi soal platform? Yang rata-rata mirip, yang berbeda hanya persentase dan konsentrasinya saja? Pragmatisme tidak bisa dihindarkan. ”Faktanya kan begitu? Parpol ber buru suara ke NU dan Muham madiyah, itu tidak bisa diban tah. Semua sudah sowanlah.

Semua sudah merangkul sana-sini. Ini rasional dan logis. Dalam politik, itu tidak bisa dinafikan,” cetusnya. Apakah Ketua Umum PD, Susilo Bambang Yudhoyono sudah punya scenario dari hasil Pileg itu? Jawabnya: belum ada bocoran. Belum di sampaikan dalam rapim. Minggu ini rapat dengan peserta konvensi dan organizer konvensi dilakukan.

Dan Minggu, 27 April 2014, konvensi digulirkan lagi di Sahid Jaya Hotel, Sudirman. ”Semua masih cair, masih bisa disambung- sambungkan. Masih bisa diutak-atik gathuk. Masih guyon, tetapi siapa tahu guyon pun bisa nyantol?,” paparnya. Wakil Ketua Umum DPP PAN Dr. Ir. Dradjad Hari Wibowo, M.Ec juga cukup transparan menyebut partainya juga sedang mempertimbangkan koalisi.

Istilah koalisi Indonesia Raya itu menurut dia ber asal dari Mantan Ketua Umum DPP PAN Amien Rais, yang sering mengeluarkan kosa kata yang aneh-aneh dan menjadi trending topic. ”Sudah ada pembicaraan dengan elite-elite partai, maksudnya Ketua-Ketua Partai. Sudah mengerucut. Tunggu tanggal mainnya, 9 Mei, setelah modal dasar dari masing-masing partai,” kata ekonom INDEF ini.

:vid="11411"

Istilah poros itu sendiri substansinya adalah gabungan beberapa parpol yang memiliki tujuan yang sama. Semula mau di sebut Poros Merah Putih, Poros Indonesia Jaya, atau Poros Tengah. Dia mengakui, sudah beberapa kali bertemu dengan ormasormas Islam, diantaranya NU dan Muhammadiyah, untuk menggagas poros baru yang berbasis massa Islam itu.

Hampir semuanya, dasarnya sama, Pancasila. Jadi sudah pasti nasionalis. ”Kami –bersama Amien Rais—itu diundang oleh ormas Islam. PKB dan PKS juga diundang. Bukan hanya membahas pilpres saja, tetapi agenda pasca-pilpres. Di Senayan, agendanya jauh lebih penting dibandingkan pilpres,” ungkapnya.

Poros baru kali ini, memang tidak sama dengan Poros Tengah zaman tahun 1999 lalu. Po ros banyak parpol itu berhasil menaikkan Gus Dur menjadi presiden, melawan PDIP yang kuat. ”Tetapi saat ini petanya ber ubah, sulit seperti 99 itu, pemilihan juga langsung. Yang paling bisa adalah, partai berbasis massa Islam ini bergabung dan membentuk koalisi baru.

Ini momentum, yang masuk akal,” jelasnya. Soal momentum itu, tokoh muda PKS H Fahri Hamzah SE ini sependapat. Harus ada tokoh alternatif yang mewakili poros baru itu. Ketika di sebelah kiri ada Jokowi, di sebelah kanan ada Prabowo yang mengerucut, harus ada alternatif yang tidak terwakili oleh kedua sosok tersebut. Dia menyebut, Dahlan Iskan mi salnya.

”Masih cukup waktu!” kata pria kelahiran Sum bawa, NTB, 10 Oktober 1971 ini. Fahri masih menyesalkan sistem pemilu langsung 9 April lalu. Dia menyebut itu pileg yang paling sadis. Dia memprediksikan, di Pilpres nanti akan semakin sadis dan brutal. Siapa yang memiliki capital yang besar, dialah yang berpotensi menguasai suara. Dia sangat cemas dengan iklim berpolitik di negeri ini, yang mengedepankan rasa dan mengesampingkan nalar.

”Siapa yang bisa menjamin presiden ke depan lebih baik? Bisa berjalan dengan aman? Tidak ada jaminan? Ada konglomerasi di politik. Kalau masih begini, lebih baik PKS menjadi oposisi saja,” ungkap Fahri. Termasuk soal koalisi dan kasak-kusuk parpol menunggu perhitungan resmi dan final dari KPU. Fahri menyebut jagat politik dan parpol-parpol itu mirip perkawinan artis saja.

Yang ramai di awal, gembos di pertengahan, satu-dua bulan sudah tidak kedengaran suaranya. Bahkan bisa jadi sudah bercerai lagi. Dan itu menjadi bahan publikasi yang besar dan menarik perhatian public lagi. ”PKS juga masih menunggu hasil perhitungan resmi di KPU,” paparnya. (don/bersambung)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Misteri Penghapusan Pelajaran TIK di Kurikulum 2013


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler