jpnn.com, RUSIA - Pengamat Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta Algooth Putranto mengatakan, mayoritas negara di dunia mendukung penangguhan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHCR).
''Mayoritas negara anggota telah menentuan keanggotaan Rusia ini. Meski unggul segala-galanya atas Ukraina, sesungguhnya Rusia ada di posisi paria. Mereka kalah di mata dunia,'' kata Algooth, Jumat (8/4).
BACA JUGA: 39 Warga Ukraina Tewas di Stasiun Kramatorsk, Lihat Ukuran Roket Rusia
Keanggotaan Rusia ditangguhkan setelah dituduh melakukan pembunuhan massal terhadap warga sipil di Bucha, Ukraina. Posisi Rusia pun jadi terancam dalam keanggotaan UNHCR.
Algooth menjelaskan, bukan pertama kali Rusia bersikap sewenang-wenang dalam konflik bersama Ukraina seperti kejadian ini.
BACA JUGA: Invasi Jadi Bumerang, Rusia Terancam Dikepung Negara NATO
Pada 2014, Rusia menyerang Ukraina Timur. Mereka dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
“Bukannya menyesal, mereka memilih keluar pada 2016. Tahun ini, melakukan invasi berkedok operasi militer khusus ketika dunia berusaha bangkit dari pandemi Covid-19. Wajar jika warga dunia menghukum Rusia,” ujar Algooth.
Dia menilai sikap Rusia terhadap UNHCR serupa dengan Uni Soviet yang menuding Organisasi Pengungsi Internasional (IRO) yang beroperasi pada 1947 sampai 1952 sebagai alat pihak Blok Barat.
Tingkah Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet dinilai ironis karena sempat mengemis kepada IRO untuk melakukan repatriasi warganya yang tinggal di pengungsian akibat Perang Dunia II.
IRO saat itu menolak repatriasi tersebut karena berniat memukimkan kembali para pengungsi.
Sebagaimana diketahui, repatriasi adalah kembalinya warga negara dari negara asing menuju asal kewarganegaraannya.
Saat itu, lanjut Algooth, para pengungsi kabur ke Eropa Barat karena tekanan ideologi komunis yang dianut Blok Timur.
UNHCR mengaku telah menghadapi banyak tantangan dalam menyusun program di kawasan, khususnya wilayah Federasi Rusia yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Sebab, ideologi komunis berusaha memaksakan seluruh etnis di wilayah tersebut menjadi satu bangsa tanpa kelas sejak masa Soviet.
Akibatnya, banyak pemaksaan pemindahan dan percampuran orang demi tujuan utopis komunis tersebut.
Dengan begitu, puluhan juta individu di wilayah Uni Soviet dipindahkan atas perintah pemimpin mereka, Joseph Stalin, pada 1930 sampai 1940.
"Saya mencontohkan ribuan umat Muslim dari etnis Tartar dan Georgia Selatan dipaksa keluar dari Crimea ke Asia Tengah. Mereka hidup sangat miskin hingga banyak yang mati kelaparan. Ketika pulang ke Ukraina, mereka masih dipersekusi sebagai penghianat ideologi komunis," tutur Algooth.
Stalin yang telah meninggal meneruskan ide dan mimpi-mimpinya sehingga menyisakan konflik yang seharusnya bisa diselesaikan secara alami oleh setiap kelompok yang terlibat.
Uni Soviet mengalami kemunduran pada 1988 dan memunculkan konflik antara Armenia dan Azerbaijan yang memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh.
Menjelang keruntuhan Uni Soviet, sedikitnya 54 hingga 65 juta orang atau kira-kira seperlima dari populasi Soviet terpaksa hidup di luar wilayah mereka.
Pada September 1990, Uni Soviet mengirim delegasi pengamat ke Pertemuan Komite Eksekutif tahunan UNHCR di Jenewa.
Dalam pertemuan itu, Soviet ingin meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB 1951 dan mempersiapkan undang-undang untuk mendukung peraturan tersebut.
Integrasi Rusia ke UNHCR terhitung kurang lancar karena wilayah bekas pecahan Uni Soviet terus bergolak akibat konflik antaretnis.
Pergolakan juga terjadi karena konflik keamanan dalam negeri Federasi Rusia yang mengakibatkan pengungsi-pengungsi baru. (mcr9/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Banyak Ketidakpastian, Harga Minyak Dunia Ambyar
Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Dea Hardianingsih, Tarmizi Hamdi