jpnn.com, JAKARTA - Hasil riset Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama tim dari ITB menunjukkan adanya potensi gempa besar yang dapat menimbulkan tsunami di dua lokasi di selatan Jawa.
Dua lokasi tersebut berada di kawasan selatan Banten – Jawa Barat dan selatan Jawa Tengah – Jawa Timur.
BACA JUGA: Simak! Ini Peringatan dari Pak Ganjar terkait Potensi Tsunami di Wilayah Selatan Jateng
Plt Direktur Pemetaan dan Evakuasi Risiko Bencana BNPB Abdul Muhari, Ph.D menjelaskan, berdasarkan hasil riset tersebut terdapat segmen yang berada di selatan Banten – Jawa Barat dengan potensi energi hingga magnitudo 8,8.
“Sedangkan segmen Jateng - Jatim berpotensi memiliki energi magnitudo 8,9 yang jika terlepas secara bersamaan akan menghasilkan potensi energi setara magnitudo 9,1,” ujar Muhari saat memaparkan hasil riset di hadapan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Jawa Tengah, pada Senin (28/12).
BACA JUGA: Sudah Korupsi, 118 Koruptor Masih Berstatus PNS dan Minta Diberhentikan dengan Hormat
Paparan hasil riset ini disampaikan Muhari dan peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Sri Widyantoro dan Rahma Hanifa, di hadapan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, para bupati di kawasan selatan Jawa, TNI, Polri, serta Forkopimda lingkup Provinsi Jawa Tengah.
Merespons temuan ilmiah yang sudah dipublikasikan dalam jurnal internasional Nature tersebut, BNPB telah mendesain upaya mitigasi terintegrasi. Salah satu langkah yang dipersiapkan adalah membangun greenbelt yang akan dilakukan dalam waktu dekat.
BACA JUGA: Gisel Tersangka Video Syur 19 Detik, Ancaman Hukuman Penjaranya Lumayan Lama
Greenbelt atau sabuk hijau yang akan dibangun merupakan gugusan tanaman yang mengkombinasikan dua jenis pohon, yaitu mangrove dan pohon palaka.
Mangrove ditanam di sisi menghadap ke laut dengan jenis pandanus atau jenis mangrove lain yang bisa tumbuh di substrat pasir. Tanaman ini berfungsi untuk mereduksi energi tsunami.
Sementara palaka, pohon yang termasuk tanaman keras ini berfungsi sebagai lapisan pelindung di sisi belakang atau sisi darat.
Muhari menuturkan bahwa ketebalan dan formasi penanaman vegetasi ini akan diatur sedemikian rupa berbasis perhitungan ilmiah agar penetrasi tsunami tidak terlalu jauh ke arah darat, dan dapat meminimalisir korban dan kerusakan di daratan.
"Kegiatan penanaman ini diupayakan akan dimulai pada awal tahun dengan berkoordinasi dengan Pemda setempat,” ujar Muhari dalam siaran pers BNPB yang diterima di Jakarta.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyambut baik informasi yang telah disampaikan BNPB, sekaligus memberikan arahan agar para kepala daerah segera menindaklanjutinya.
Rencana mitigasi berbasis ekosistem (greenbelt) tersebut perlu segera dilakukan karena dapat digunakan sebagai frontline yang mengurangi dampak tsunami.
“Kita harus memanfaatkan momentum musim hujan yang masih berlangsung hingga bulan Maret tahun depan, agar penanaman ini dapat berjalan baik dan vegetasi yang ditanam bisa tumbuh sempurna," ucap Ganjar.
Berdasarkan data dari BNPB, masih banyak kabupaten yang belum memiliki dokumen perencanaan penanggulangan bencana di antaranya Kajian Risiko Bencana (KRB).
Ganjar mendorong agar kabupaten yang belum memilikinya agar segera melakukan penyusunan KRB dengan pendampingan dari provinsi dan BNPB.
Hal ini dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi risiko bencana di seluruh kabupaten untuk selanjutnya menetapkan rencana aksi yang diperlukan.
Hal lain yang menjadi perhatian Ganjar adalah hasil riset yang disampaikan oleh Abdul Muhari pada saat tsunami 2011 di Jepang, yang menunjukkan bahwa tsunami seringkali menghasilkan kerusakan tambahan (collateral damage).
Kerusakan tambahan itu seperti kebakaran karena gelombang yang menerjang kilang minyak, menghancurkan tempat penyimpanan minyak berskala besar, sehingga bahan yang mudah terbakar tersebut akan terbawa air dan membakar apa saja yang ditemukannya, baik di darat atau di laut.
Menyikapi potensi tersebut, Ganjar menyampaikan perlu dilakukan pertemuan dengan pihak Pertamina yang memiliki fasilitas penampungan bahan bakar minyak di Kabupaten Cilacap.
Pertemuan ini bertujuan untuk mendiskusikan perlunya penguatan atau perbaikan fasilitas-fasilitas vital yang akan berpotensi memberikan collateral damage pada saat tsunami terjadi.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperkuat upaya pengurangan risiko bencana (PRB), seperti kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami.
Kesiapsiagaan tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat desa tangguh bencana, melakukan latihan kesiapsiagaan bersama dengan pemerintah dan masyarakat terutama di daerah sepanjang selatan Jawa, minimal tiga kali dalam satu tahun.
Beberapa daerah teridentifikasi telah memiliki tempat evakuasi sementara (TES), namun tidak seluruhnya karena beberapa daerah terletak di dataran rendah.
Untuk itu, Dr. Abdul Muhari menyampaikan untuk daerah-daerah yang berada di dataran rendah, TES dapat memanfaatkan sekolah atau bangunan-bangunan tinggi yang tahan gempa dan tsunami.
Selain itu, fasilitas umum seperti jembatan penyeberangan juga dapat digunakan sebagai temporary vertical evacuation, seperti yang sudah dilakukan di Jepang. Fasilitas tersebut harus didesain sedemikian mudah dijangkau oleh masyarakat yang akan berlari untuk menyelamatkan diri.(fat/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam