jpnn.com - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat kaya akan kerajinan tenun tradisional, ikat, songket (lotis), sulam (buna), yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Jumlah pengrajin pun tidak sedikit, yakni mencapai 42 ribu orang.
Tenun ikat NTT merupakan kekayaan turun-temurun bernilai tinggi, karena dibuat secara manual. Bernilai tinggi, juga karena desain motif mengandung makna simbolis, filosofis, spiritual dan mistis.
Selain itu juga karena bagian dari panggilan perempuan sebagai penenun kehidupan dalam sosial ekonomi dan budaya individu, keluarga serta suku.
BACA JUGA: Fadli Zon Dukung Pemerintah Impor Daging Sapi, Katanya...
Demikian diungkapkan Ketua Dekranasda Provinsi NTT, Lucia Adinda Lebu Raya kepada Timor Express (JPNN Group), Sabtu (11/6).
Lucia yang juga istri Gubernur NTT itu menuturkan, tenun ikat NTT semakin digemari oleh banyak kalangan, baik lokal, nasional, maupun internasional. Digunakan untuk berbagai kebutuhan mulai dari fashion, dekorasi, interior, aksesoris seperti tas, dompet, sepatu dan perhiasan.
BACA JUGA: Harga Cabai Rawit Terjun Bebas
Tenun ikat NTT misalnya, motif Sumba sudah didaftarkan ke Unesco sebagai kekayaan milik Indonesia.
Dalam perjalanannya, Dekranasda melihat adanya potensi besar. Lalu, bagaimana tenun ikat dapat meningkatkan ekonomi rumah tangga perajin? Tentu, lanjut Lucia, ini menjadi tantangan bagi semua perajin, pecinta, pembina dan pemerhati tenun ikat. Selama ini tenun ikat sudah menjadi salah satu sumber penting untuk menutupi kebutuhan hidup di sebagian besar kehidupan rumah tangga masyarakat NTT terutama di pedesaan.
BACA JUGA: Kadin: Potensi Energi Terbarukan Luar Biasa, Harus Jadi Prioritas Pemeritnah
Tenun kaum perempuan peningkatan ekonomi karena adanya keuntungan dari nilai tambah produk tenun ikat sebagian besar dinikmati oleh pedagang dan produsen produk berbahan tenun ikat NTT.
"Omzet usaha produksi yang secara umum mencapai rata-rata Rp 4,6 miliar per bulan di tingkkat perajin. Akan menghasilkan omzet berlipat ganda di tingkat pedagang dan produsen berbahan tenun ikat NTT,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, Dekranasda banyak mendapat kendala, baik dari sisi pemasaran, bahan baku, kualitas benang, permodalan, persaingan produksi, teknologi, regenerasi, maupun sikap kewirausahaan yang belum sepenuhnya dimiliki oleh perajin. Tetapi Dekranasda saat ini berupaya terus bekerja sama dengan kelompok atau koperasi dalam mengatasi kebutuhan benang, bahan pewarna alam dan pewarna sintesis.
“Kita juga berusaha meningkatkan kemampuan perajin untuk memroduksi tenun yang berkualitas baik. Meningkatkan akses pemasaran melalui promosi efektif, pameran di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional bahkan internasional. Rencananya ada event NTT sejuta tenun di tahun 2017 nanti," sambung Lucia.
Upaya lainnya adalah regenerasi penenun melalui lembaga pendidikan formal dan non formal melalui sekolah dan kursus-kursus pertenunan bagi anak-anak di pedesaan yang putus sekolah. Juga dengan dibukanya Program Studi Tenun Ikat setara D3 (Diploma III).
Mendorong kalangan masyarakat untuk mencintai tenun dan menggunakannya di berbagai kebutuhan berbusana. "Bayangkan saja, berapa banyak pengrajin yang bisa dibantu kalau semua pegawai, masyarakat, anak sekolah di NTT menggunakan tenun NTT," ungkap Lucia yang baru kembali dari Belanda awal Juni lalu sebagai narasumber dalam seminar tenun ikat internasional di Leiden, Belanda.
Ditambahkan, yang tidak kalah penting adalah melindungi motif-motif tenun NTT dengan upaya memperoleh HKI dan menjaga kualitas tenun produk perajin NTT.
"Kiranya dengan dukungan dari berbagai pihak, tentunya dengan potensi yang ada, Dekranasda dapat menjawab tantangan dalam meningkatkan ekonomi rumah tangga para perajin tenun ikat khas NTT," tutup dia.(carlens bising/oranis herman/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mentan: Terus Operasi Sampai di Bawah Rp 80 Ribu
Redaktur : Tim Redaksi