jpnn.com, JAKARTA - Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (Alaska) mendesak Peraturan Presiden (PP) nomor 32 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengunduran Diri dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden, Permintaan Izin dalam Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Serta Cuti dalam Pelaksanaan Kampanye, dibatalkan.
Koordinator Alaska Adri Zulpianto menjelaskan, PP 32/2018 melenceng dari asas pelaksanaan pilpres. Sebab, dalam aturan itu dinyatakan kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai presiden harus melalui izin presiden dalam batas waktu selama 15 hari.
BACA JUGA: Cawapres Jokowi: JK Pertama, TGB Kedua
"Karena PP tersebut tidak sejalan dengan asas pelaksanaan pilpres menurut UU 42 Nomor 2008, maka sudah seharusnya peraturan pemerintah tersebut dibatalkan," kata Adri, Rabu (25/7).
Dia menyatakan, pada 2014 Joko Widodo masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, dapat melenggang ke Istana hanya dengan menunggu izin dari Megawati selaku ketua umum partai pengusungnya sebagai capres. Jokowi saat itu tidak sampai menunggu restu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bahkan, SBY bersama jajaran pemerintahannya tidak mempersulit langkah Jokowi menjadi capres kendati saat itu masih menjabat gubernur.
BACA JUGA: Jokowi - JK Sulit Ditandingi
Alaska menilai PP 32/2018 yang diteken Jokowi ini sebagai langkah reaktif terhadap isu pencalonan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang belakangan namanya santer diusung oleh partai yang berlawanan dengan kubu petahana. Alaska menilai ditekennya PP 32/2018 itu sebagai bentuk neootoriter dan neodiktator ala rezim yang sedang berkuasa.
"Rezim Jokowi ingin membentuk rezim demokrasi kekuasaan, bukan menjalankan sistem demokrasi terpimpin yang justru menjadi kontras atas semangat demokrasi tersebut," papar Adri.
BACA JUGA: Simak nih Omongan SBY Usai Bertemu Prabowo
Dia mengatakan, meski dalam Pasal 7 UU 42/2008 menyatakan bahwa kepala daerah yang maju mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden harus melalui izin presiden, tapi dalam peraturan tersebut tidak ditentukan lamanya waktu seperti di PP 32/2018 yang diteken Jokowi 18 Juli 2018 ini.
Alaska menambahkan, PP 32/2018 bertentangan dengan UU Pemilu. Dalam UU dijelaskan bahwa seseorang ditetapkan sebagai capres-cawapres setelah melampirkan berkas persyaratan ke KPU. Setelah berkas tersebut terverifikasi dinyatakan sebagai capres maupun cawapres. Jadi, kata dia, bukan setelah minta izin kepada presiden.
Karena itu, Adri menambahkan PP 32/2018 hanya membuat gaduh suasana di masa politik. PP itu membuat pemilu menjadi tidak berkualitas karena sarat dengan kepentingan kekuasaan. Bukan bertujuan membangun negeri yang sehat dengan mengajarkan anak bangsa dengan logika hukum yang sehat.
Selain itu, lanjut dia, pembatalan PP itu wajib dilaksanakan jika pada 2024 nanti digelar Pilgug, Pilwalkot, Pilbup, Pileg, dan Pilpres Serentak. Pembatalan PP ini akan meredam konflik dan kegaduhan yang dimunculkan. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sinyal Terang dari Prabowo Disambut Tepuk Tangan
Redaktur & Reporter : Boy