PPN 12 Persen Berpotensi Picu Inflasi Serius

Kamis, 19 Desember 2024 – 06:29 WIB
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memicu inflasi yang cukup serius. Ilustrasi Foto: Arry Saputra/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menyatakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memicu inflasi yang cukup serius.

Sebab, meski barang pangan tetap dikecualikan dari pengenaan PPN, tarif 12 persen akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat ke bawah.

BACA JUGA: PPN Naik 12 Persen, Jauh Lebih Tinggi Dibanding Negara ASEAN Lain

“Implikasinya, kebijakan ini berisiko memicu inflasi yang tetap tinggi pada tahun depan, sehingga menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah,” ujar Media, dikutip di Jakarta, Rabu (18/12).

Celios menghitung kenaikan PPN menjadi 12 persen bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp 101.880 per bulan.

BACA JUGA: Novita Hardini Sebut PPN 12 Persen Berdampak pada Akses Pendidikan Berkualitas

Kemudian, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.

Kondisi itu akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan.

Di sisi lain, Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menambahkan kebijakan tarif PPN Indonesia masih menganut tarif tunggal, bukan multitarif atau diterapkan secara selektif terhadap barang dan jasa.

Menurutnya, pemberian insentif berupa PPN ditanggung pemerintah (DTP) bersifat rentan dan menimbulkan ketidakpastian karena bisa dicabut kapan saja.

Dampak kenaikan tarif PPN terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga pun disebut negatif. Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di kisaran angka lima persen. Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen pada 2022, terjadi perlambatan dari 4,9 persen (2022) menjadi 4,8 persen (2023).

Nailul membeberkan memang secara penerimaan negara, kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga diperkirakan tidak memberikan kontribusi yang signifikan.

Namun, dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar.

Nailul menambahkan data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) yang hanya naik 1,1 persen menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah.

"Kenaikan tarif ini hanya akan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujar Nailul.(antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler