jpnn.com - JAKARTA- Indonesia menjadi perhatian dunia. Tak bisa dibantah lagi, Pemilihan Presiden 9 Juli nanti sudah menyedot perhatian banyak pihak termasuk dunia internasional.
Allan Nairn, seorang jurnalis (khusus investigasi) Amerika Serikat yang pernah memenangkan banyak penghargaan atas tulisannya, juga kembali mengenang semua memorinya akan Indonesia, khususnya Prabowo Subianto, salah satu calon presiden dalam Pilpres nanti.
BACA JUGA: Salam Indonesia Dukung Prabowo-Hatta
Nairn disebut pernah tercatat sebagai tahanan saat pemerintahan Presiden Soeharto, soal peliputan dan tulisannya soal Timor Timur.
Nah, Minggu (22/6) kemarin, di blognya, Nairn mengulas soal Prabowo.
BACA JUGA: Artha Ditahan KPK, Keluarga: Kamu Kemana Dik, Mereka Itu Penjahatnya
"Pada bulan Juni dan Juli 2001, saya punya dua pertemuan dengan Prabowo," tulis Nairn.
Mereka (Nairn dan Prabowo) berjumpa di kawasan Mega Kuningan, Jakarta.
BACA JUGA: Drone Sulit Digunakan di Indonesia
"Saya menawarkan Prabowo percakapan off the record," tambah Nairn.
Saat itu Nairn sedang menggali laporan tentang serangkaian penyiksaan, penculikan dan pembunuhan massal yang diduga keras melibatkan militer Indonesia.
"Prabowo mengaku hanya memiliki sedikit informasi mengenai kasus itu. Namun kita akhirnya berbicara selama hampir empat jam."
Keduanya kemudian berbicara soal pembantaian di Santa Cruz, Timor Timur, dimana militer melakukan pembantaian terhadap 271 warga sipil di Dili, 12 November 1991.
"Prabowo mengatakan kepada saya, pembantaian itu adalah tindakan bodoh karena dilakukan di depan banyak saksi yang bisa melaporkan kejadian ini ke seluruh dunia."
“Kata Prabowo, Santa Cruz telah membunuh kami secara politis. Ini sebuah kekalahan. Dia bilang, anda tidak bisa membantai warga sipil di depan media. Mungkin bisa dilakukan di desa terpencil, tapi jangan di ibukota provinsi,” kata Prabowo.
Pada September 1983, terjadi serangkaian pembantaian di desa terpencil Kraras di kawasan pegunungan Bibileo, Timor Timur.
Komisi rekonsiliasi Timor Timur bentukan PBB menemukan bahwa Prabowo ditempatkan di sektor timur Timor-Leste saat pembantaian itu terjadi.
"Sejumlah saksi mengungkapkan bahwa Prabowo terlibat dalam operasi untuk mengurangi populasi warga sipil di Gunung Bibileo."
Kemudian, lanjut tulisan Nairn, dua tahun setelah Soeharto 'jatuh', Indonesia dipimpin presiden sipil, Abdurrachman Wahid alias Gus Dur.
"Prabowo dulu pernah mengecam Gus Dur dan demokrasi Indonesia."
"Indonesia belum siap untuk demokrasi. Kita masih kanibal, masih banyak kelompok yang melakukan kekerasan. Terlalu banyak kelompok etnis dan keagamaan yang menghalangi demokrasi.
Soal Gus Dur, Prabowo kata Nairn menyebut presiden itu seorang buta dan memalukan. "Militer kenapa tunduk dengan presiden buta. Bayangkan. Lihatlah, dia memalukan."
"Lihat Tony Blair, Bush, Putin. Mereka muda, ganteng. Dan kita? Punya presiden buta," tulis Nairn menirukan Prabowo saat itu.
Nairn mengungkap, Prabowo mengidolakan model lain. Prabowo suka dengan Jenderal Pervez Musharraf. Pemimpin Pakistan itu pernah menangkap perdana menteri sipil dan menerapkan pemerintahan diktator.
Prabowo mengatakan dia sangat mengagumi Musharraf.
“Apakah saya punya nyali? Apakah saya siap disebut sebagai diktator fasis? Musharraf punya keberanian itu,” kata Prabowo dalam tulisan Nairn itu.
"Sekarang Prabowo ada di ambang kekuasaan negara. Saya lihat kembali catatan saya dan dari apa yang dia katakan saat itu, saya pikir sekarang menjadi relevan," urai Nairn.
Apa yang coba diungkap Allan Nairn, khususnya terkait Gus Dur, sedikit ironi. Apa sebab?
Di musim kampanye Pilpres 2014 ini, cukup tersebar beberapa baliho yang memanfaatkan ketokohan Gus Dur untuk menggaet pemilih untuk Prabowo.
Salah satu baliho yang paling mencolok mata adalah baliho raksasa dengan gambar wajah close-up Gus Dur dengan kutipan kalimat “Saya dukung Prabowo karena ia orang yang jujur dan tegas. Indonesia butuh pemimpin seperti Prabowo.”
Di sana letak ironinya, karena dari hasil investigasi Allan Nairn, Prabowo terkesan tak menerima Gus Dur secara utuh.
"Saya pernah menghubungi Jenderal Prabowo untuk meminta izin membahas komentarnya itu ke publik, tetapi saya tidak mendapat hubungan kembali," sambung tulisan Nairn.
"Saya pikir bahaya melanggar anonimitas janji saya kepada Jenderal (Prabowo) saat itu. Namun saya pikir ini akan sebanding dengan apa yang akan menjadi kerugian besar orang Indonesia saat pergi ke tempat pemungutan suara. Ini akses fakta yang mungkin terkait," tulis Nairn. (adk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PKB Jamin Kesejahteraan Pekerja dan Produktivitas Perusahaan
Redaktur : Tim Redaksi