Praktik UU KPK Sudah Terlalu Lama Melenceng dari Jalur

Senin, 09 September 2019 – 22:15 WIB
Ilustrasi KPK. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini digunakan oleh lembaga antirasuah itu dianggap tidak memenuhi unsur yuridis, filosofis dan sosiologis.

Karena itu, revisi Undang-undang KPK dianggap penting untuk mengembalikan semangat dan cita-cita pembentukan lembaga antirasuah itu.

BACA JUGA: Soal Revisi UU KPK, Irjen Firli Beri Respons Begini

"Sejak 2002 dipraktikan UU itu tapi dalam praktik ada yang tak betul. Sesuai aturan tak betul mencong ke kiri, ke kanan, ada kurang pas di lapangan kan begitu. Kaya mobil saja dipakai lima tahun tak diservis-servis," kata pakar hukum pidana Romli Atmasasmita saat dihubungi, Senin (9/9).

Romli menjelaskan, dari aspek filosofis, revisi UU tersebut akan mengembalikan maruah dan jati diri yang sebenarnya ketika dibentuknya KPK sebagai lembaga yang fokus menangani permasalahan korupsi.

BACA JUGA: Arteria Dahlan Heran Revisi UU Dituding Melemahkan KPK

Romli menyontohkan soal menghilangnya peran strategis KPK dewasa ini. Menurutnya, hal itu dapat dilihat dari tugas lembaga antikorupsi soal masalah kordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung), polisi dan kementerian terkait.

Pasalnya, kata Romli, untuk saat ini, pihak KPK terkadang tidak melakukan koordinasi dan supervisi apabila melakukan penindakan dengan lembaga-lembaga tersebut. Padahal, tugas utama dari KPK adalah melakukan koordinasi, selain penindakan.

"Kenapa perlu koordinasi karena KPK dianggap superbody lembaga independen. Karena kewenangan lebih dari jaksa, polisi. Lebihnya KPK bisa koordinasi supervisi kalau supervisi di jaksa dan polisi ada masalah bisa ambil alih. Sebaliknya polisi jaksa tak bisa ambil dari KPK," ujar Romli.

Selain itu, Romli juga mengkritisi soal kewenangan penyadapan KPK. Menurutnya, KPK boleh melakukan penyadapan tanpa izin dari pengadilan.

Berbeda dengan pihak dari Kejagung dan polisi. Lalu, soal penanganan perkara yang di bawah Rp 1 miliar.

Jika ditinjau dari peran supervisi yang dimiliki KPK, kata Romli, seharusnya apabila menemukan adanya indikasi praktik korupsi, KPK harus mengutamakan koordinasi dengan lembaga terkait.

"KPK kordinasi sama menterinya datangi, kasih tahu berhenti itu. Lalu supervisi diawasi, kalau bandel baru tangkap," kata dia.

Kemudian, dari aspek sosiologis, Romli menyebut, saat ini tidak seluruh suara masyarakat bulat memberikan dukungan kepada KPK.

Pasalnya, hal itu dapat dilihat dari respons masyarakat yang pro dan kontra dari pembahasan revisi UU KPK.

"Pertimbangan sosiologis kami lihat dulu KPK waktu dibikin dukungan masyarakat luar biasa, dukungan institusi pemberitaan seratus persen. Sekarang lihat revisi pro-kontra, ada yang mau, ada yang tak usah," jelas Romli.

Lalu dari aspek yuridis, Romli menuturkan bisa dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal uji materi UU KPK.

Dalam putusan itu disebutkan, KPK adalah lembaga independen cabang kekuasaan eksekutif yang menangani permasalahan korupsi.

"Kalau itu putusan MK maka dampaknya UU KPK direvisi karena UU KPK tak disebut lembaga independen jalan tugasnya lidik sidik dan tuntutan. Dengam putusan MK itu UU KPK diperbaiki secara struktural dan organisatoris," ujar Romli.

Di sisi lain, Romli menyebut, cita-cita dibentuknya wadah pegawai KPK juga melenceng dari aturan yang ada. Mengingat, wadah itu seharusnya dibentuk untuk fokus ke masalah internal bukan eksternal di luar KPK.

"Sekarang lihat pegawai KPK disiplin tidak, ada pegawai KPK punya wadah pegawai KPK bukan untuk demo. Peraturan pimpinan KPK ada itu 2018 itu pasal 57 sama yang neken itu, atas rekomendasi pimpinan yang boleh gerak diam, semua deputi wajib mengikutsertakan wadah pegawai untuk sampaikan aspirasi kepada pimpinan untuk apa, promosi mutasi pegawai dibatasi kan," ucap Romli. (tan/jpnn)


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler