Praktisi Hukum: Pemberhentian Ahok Wewenang Presiden

Jumat, 17 Februari 2017 – 15:20 WIB
M. Zakir Rasyidin. Foto: source for JPNN.com

jpnn.com - jpnn.com -Kontroversi seputar Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), terdakwa kasus dugaan penodaan agama yang diaktifkan kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta, masih ramai.

Menurut praktisi hukum M. Zakir Rasyidin, wewenang pemberhentian ada di tangan Presiden Joko Widodo. “Mengacu kepada pasal 83 ayat 3 UU Pemda Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemberhentian sementara seorang Gubernur Wakil Gubernur adalah kewenangan presiden,” kata Zakir, Jumat Jumat (17/2).

BACA JUGA: Ahok Cuek Soal Banjir, Warga Puji Pangdam dan Kapolda

Zakir memaparkan, pasal 83 tersebut terdiri dari lima ayat. Pertama; (1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ayat kedua, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

BACA JUGA: Desmond Samakan Masalah Jokowi-Arif dengan SBY-Aulia

Ayat ketiga, pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

Pada ayat keempat, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

BACA JUGA: Ahok: Normalisasi Sungai Cara Paling Ampuh Atasi Banjir

Ayat kelima, pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota.

“Tentu tafsir dalam pasal ini menimbulkan kontroversi, sebab di satu sisi (ayat 1) menjelaskan soal masa hukuman, namun disisi lain (ayat 2) soal status hukum seseorang dalam hal ini terdakwa. Jadi tidak ada alasan lain kecuali mengacu pada ayat 3,” tutur Zakir.

Menurut Zakir, seluruh tafsir yang ada dalam UU tersebut menjadi hak preoregatif presiden. “Sebab ini bukan hanya menyangkut soal Hukum Ansich saja, tapi juga menyangkut soal politik,” ujarnya. 

Sekjen Majelis Advokat Muda Nasional Indonesia (Madani) ini berharap presiden betul-betul teliti dan berhati-hati dalam memutuskan sebuah kebijakan pemberhentian sementara Ahok.

“Karena kasus Ahok sarat nuansa politik, sehingga kalau dianggap berbeda dengan kepala daerah lainnya yang sudah berstatus terdakwa kemudian diberhentikan, saya kira wajar saja,” ungkapnya.

Mengutip adagium hukum bahwa hukum itu Lex Dura Sed Tamen Scripta, Zakir kembali menegaskan. “Hukum itu kaku, namun itulah yang dituliskan undang-undang, jadi harus dipahami dan dimengerti. Tidak perlu berdebat, berikan sepenuhnya kepada presiden untuk memutuskan sanksi administrasi terbaik,” pungkasnya. (adk/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wahai Presiden Kami Tercinta...


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler