Presiden Bongbong

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 11 Mei 2022 – 14:48 WIB
Ferdinand Marcos Jr. Foto: Ted ALJIBE / AFP

jpnn.com - Filipina baru saja melaksanakan pemilihan umum, Senin (9/5), dan menghasilkan presiden baru, Ferdinand Marcos Junior atau lebih dikenal dengan panggilan Bongbong.

Hasil penghitungan suara formal oleh komisi pemilihan umum belum diumumkan, tetapi hitung cepat menunjukkan Bongbong memperoleh suara dua kali lipat lebih banyak dari pesaing terdekatnya, mantan Wakil Presiden Leni Robredo, dan eks petinju Manny Pacquiao yang juga mencalonkan diri.

Bongbong adalah putra mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos (1917-1989) yang dikenal sebagai diktator selama kekuasannya yang berlangsung 21 tahun. Marcos memimpin Filipina dengan kekuasaan mutlak dan menerapkan politik tangan besi untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.

BACA JUGA: Dinasti Marcos Kembali Berkuasa di Filipina, China Lihat Peluang Cuan

Di bawah kepemimpinan Marcos, Filipina didera korupsi yang merajalela dan kemiskinan di mana-mana. Marcos bersama istrinya, Imelda, dikenal sangat korup dan menyimpan kekayaan yang sangat besar di dalam dan luar negeri.

Pada 1986, Filipina diguncang demonstrasi besar di seluruh negeri. Rakyat memprotes kepemimpinan Marcos yang bobrok.

Tanpa takut lagi dengan kekejaman Marcos, rakyat Filipina berduyun-duyun turun ke jalan melakukan protes yang melumpuhkan aktivitas pemerintahan.

Gerakan rakyat itu kemudian terkenal dengan sebutan ‘People Power’, demonstrasi besar-besaran secara damai yang berhasil menumbangkan rezim sangat otoriter dan represif. Ferninand Marcos yang terdesak tidak mempunyai pilihan lain selain melarikan diri ke Amerika Serikat ketimbang menghadapi pengadilan rakyat.

Dengan pesawat khusus, Marcos dan keluarganya melarikan diri ke Hawaii. Ketika itu, dia membawa semua hartanya yang bisa diboyong, termasuk ribuan batang emas, berlian, dan batu-batu berharga.

BACA JUGA: Sebut Filipina Dilanda Krisis, Presiden Duterte Ancam Penjarakan Warga yang Abaikan Seruan Pemerintah

Marcos juga membawa ratusan koper berisi uang kontan dalam pecahan dolar AS dan peso Filipina.

Imelda Marcos juga ikut kabur besama suaminya. First lady yang dikenal pesolek itu membawa serta ratusan pasang sepatu koleksinya dan berbagai perhiasan dari emas, intan, maupun berlian. Sebuah laporan menyebutkan jumlah koleksi sepatu Imelda hampir mencapai 3.000 pasang.

Bersama keluarga itu ikut pula si bungsu Ferdinand Marcos Junior. Ketika itu, si bungsu yang biasa dipanggil Bongbong tersebut masih seorang anak muda berusia 27 tahun.

BACA JUGA: Anak Diktator Legendaris Filipina Tak Terbendung di Pilpres, Sejarah Terulang

Saat itu, Bongbong belum pernah bersinggungan secara langsung dengan politik. Marcos Senior juga tidak mempersiapkan anaknya yang masih dianggap terlalu muda itu untuk menjadi suksesornya.

Akan tetapi, takdir politik berbicara lain. Bongbong -yang menjadi saksi kekuasaan dan kejatuhan bapaknya- belajar banyak mengenai politik.

Marcos Senior meninggal dalam kondisi menderita di pengasingan pada 1989. Bongbong bersumpah untuk kembali ke Filipina dan akan meneruskan kepemimpinan dinasti Marcos.

Filipina mengalami transisi dan transformasi nasional setelah People Power berhasil mengusir Marcos yang sangat otoriter. Penggantinya adalah seorang presiden baru yang sebelumnya jauh dari politik, bahkan lebih dikenal sebagai ibu rumah tangga.

Dialah Corazon 'Cory' Aquino, istri mendiang Benigno ‘Ninoy’ Aquino. Ninoy semasa hidupnya dikenal sebagai musuh bebuyutan Marcos.

Ninoy menjadi politikus yang dengan gagah berani menentang otoritarianisme Marcos. Ninoy yang lahir dari keluarga tuan tanah kaya raya rela membagi-bagikan tanahnya untuk para petani miskin yang menjadi korban salah urus oleh rezim Marcos.

Ninoy pun makin populer dan pendukungnya kian meluas. Namun, Marcos tidak senang dengan kiprah Ninoy dan memenjarakannya atas dasar tuduhan subversi.

Pada 1980, Ninoy diizinkan berangkat ke Amerika untuk mengobati jantungnya yang sakit. Selanjutnya, dia tinggal di Amerika sebagai warga eksil.

Namun, Ninoy tetap menyuarakan perlawanan terhadap Marcos dari tempat pengasingan. Pada 1983, Ninoy memutuskan kembali ke Filipina untuk memimpin pelawanan langsung terhadap Marcos.

Sebenarnya teman-teman Ninoy sudah mengingatkannya akan bahaya yang bakal mengadangnya. Memang Marcos tidak akan segan-segan membunuh Ninoy begitu tiba di Filipina.

Namun, Ninoy bersikeras untuk tetap pulang. Benar saja. Begitu tiba di Bandara Manila, Ninoy dijemput oleh beberapa tentara.

Ketika Ninoy menuruni tangga pesawat, tiba-tiba terdengar letusan senjata beberapa kali. Ninoy tersungkur bermandikan darah dan tewas seketika di atas tarmak.

Marcos mengeklaim pembunuh Ninoy adalah aktivis komunis yang langsung ditembak mati oleh tentara di tempat kejadian perkara. Tentu saja rakyat tidak percaya dengan klaim Marcos.

Kematian Ninoy justru menyulut gerakan rakyat yang meluas. Popularitas Ninoy yang sangat tinggi dan pembunuhannya yang brutal membuat rakyat kehilangan rasa takutnya.

Demonstrasi menentang Marcos mulai bermunculan secara sporadis. Puncaknya terjadi pada 1986 ketika rakyat sudah semakin bernyali.

Puluhan ribu orang melakukan demonstrasi yang kemudian dikenal sebagai Revolusi EDSA (singkatan dari Epifanio de Los Santos Avenue), nama sebuah jalan di Metro Manila yang menjadi pusat unjuk rasa rakyat.

Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Filipina Kardinal Sin merestui dan mendukung gerakan itu. Rakyat Filipina yang mayoritas Katolik makin berani turun ke jalan.

Ratusan ribu orang tiap hari memenuhi EDSA untuk melakukan protes damai. Puncaknya terjadi ketika ratusan ribu orang bergerak mengepung Istana Malacanang tempat Marcos dan Imelda bersemayam.

Pemimpin tertinggi militer Jenderal Fidel Ramos melihat situasi yang tidak terkendali dan memutuskan untuk mendukung gerakan rakyat. Marcos harus menghadapi risiko pengadilan rakyat. Ia tidak punya pilihan lain kecuali melarikan diri ke Amerika.

Sebuah pemerintahan paling brutal dalam sejarah Filipina akhirnya tumbang oleh People Power. Rakyat Filipina -yang masih mengenang Ninoy- akhirnya memilih Cory Aquino sebagai presiden baru.

Seorang ibu rumah tangga yang tidak punya pengalaman politik dipilih menjadi presiden karena menjadi simbol perlawanan yang tidak kenal takut selama revolusi.

Namun, tradisi politik Filipina yang elitis selalu melahirkan dinasti. Sejak era Macapagal sampai Rodrigo Duterte sekarang, dinasti politik bermunculan.

Setelah Cory Aquino mengakhiri masa jabatannys, giliran Jenderal Fidel Ramos yang menjadi presiden. Tradisi politik keluarga Aquino kemudian dilanjutkan oleh anak kandung Ninoy dan Cory, yaitu Benigno Aquino Junior (1960-2021) yang menjadi presiden Filipina pada 2010 sampai 2016.

Sepeninggalan Aquino Jr, muncullah Rodrigo Duterte, politikus garis keras yang tidak segan menggunakan kekerasan untuk menjalankan kepemimpinannya. Kemenangan Duterte disebut sebagai kembalinya era otoritarian ala Marcos.


Satu dekade terakhir, Rodrigo Duterte yang dikenal karena perangnya terhadap narkoba memiliki pengaruh sangat besar dalam politik Filipina. Duterte juga mempunyai pengaruh besar dalam dalam kemenangan Bongbong Marcos.

Anak kandung Duterte, Sara Duterte, merupakan pasangan Bongbong pada pemilu kali ini. Terulangnya kejayaan keluarga Marcos dan masih berjayanya keluarga Duterte adalah simbol kemenangan sayap kanan Filipina.

Perkembangan politik di Filipina memiliki resonansi dengan kondisi di Indonesia. Bongbong banyak didukung oleh pemilih milenial yang tidak merasakan era otoriter di bawah Marcos Senior.

Generasi muda Filipina masa kini tidak mengalami kesengsaraan era Marcos yang otoriter. Bongbong Marcos lebih serius berkampanye di media sosial atau medsos ketimbang ikut debat calon presiden untuk mengadu gagasan.

Namun, keberhasilan kampanye di medsos itulah yang sukses menarik suara milenial. Bongbong pun memenangi pemilihan umum.

Di Indonesia, banyak pemilih mudanya yang lahir setelah reformasi pada 1998 sehingga tidak merasakan dampak pemerintahan Soeharto yang otoriter. Ada paralelisme dalam pemilu presiden Filipina tahun ini dengan Pilpres 2024 di Indonesia.

Sebuah artikel di The Washington Post menyebut fenomena Bongbong mirip dengan kemunculan Prabowo Subianto di Indonesia. Keduanya dianggap mempunyai warisan kepemimpinan orang tuanya dan metuanya yang otoriter.

Jika Prabowo bisa menang pada Pilpres 2024, hal itu dianggap sebagai fenomena yang sama dengan kemenangan Bongbong di Filipina sekarang ini. (***)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler