jpnn.com, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing menilai pelaporan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Bareskrim Polri terkait kerumunan massa yang terjadi saat kunjungan kerja ke Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan tindakan berlebihan.
“Melaporkan Presiden ke Bareskrim Polri terkait kerumunan massa saat kunjungan kerja ke suatu daerah baru-baru ini, menurut saya berlebihan,” kata Emrus, Sabtu (27/2).
BACA JUGA: Ini Alasan Bareskrim Dua Kali Tolak Laporan soal Pelanggaran Prokes di Kunker Jokowi
Emrus menilai tampaknya mereka yang melaporkan Jokowi belum melihat secara jeli simbol non-verbal dari presiden yang mengandung makna mendalam. “Sehingga sangat tidak tepat jika ada yang melaporkan,” tegasnya.
Karena itu, ia menjelaskan dari aspek komunikasi laporan ini sangat lemah dari sudut makna yang terkandung dari simbol non-verbal yang disampaikan oleh presiden. “Wajar pihak kepolisian, menurut hemat saya, menolaknya,” katanya.
BACA JUGA: Presiden Jokowi Dilaporkan Lagi ke Bareskrim Polri, TNI Diminta Turun Tangan
Emrus mengaku setelah mengikuti dan menyimak peristiwa berkumpulnya sekelompok masyarakat lewat berbagai sumber dari sejumlah media, kejadian tersebut sama sekali bukan sepengetahuan dan keinginan presiden. Menurutnya, hal itu jelas tergambar dari perilaku komunikasi non-verbal presiden.
“Dengan memakai masker, Presiden Jokowi terlihat menggerak-gerakkan tangannya ke arah maskernya, sebagai simbol komunikasi non-verbal yang dapat dimaknai dan bertujuan mengingatkan sekelompok masyarakat yang ada di lokasi agar tetap menggunakan masker,” paparnya.
BACA JUGA: Soal Kerumunan Jokowi di NTT, Abdul Fickar Hadjar: Faktanya Ada Pelanggaran Hukum
Ia menambahkan dari simbol non-verbal tersebut, sangat jelas bahwa Presiden Jokowi memberi teladan kepada masyarakat agar tetap dan taat menggunakan protokol kesehatan dalam rangka menghindari penyebaran Covid-19.
“Uraian dari perspektif komunikasi di atas, sejatinya serta merta disampaikan oleh Tim Komunikasi Presiden (para jubir) untuk memberi pencerahan kepada publik. Sayangnya hal tersebut belum dilakukan hingga saat ini,” katanya.
Oleh karena itu, Emrus meyarankan kepada Presiden Jokowi agar segera melakukan evaluasi terhadap pengelolaan komunikasi kepresidenan. “Dengan demikian, manajemen komunikasi kepresidenan ke depan bisa lebih profesional, cepat, lincah, proaktif, kreatif, antisipatif dan yang tak kalah pentingnya menjadi "penasihat" komunikasi bagi presiden,” ungkapnya.
Seperti diberitakan, Presiden Jokowi kembali dilaporkan masyarakat terkait kerumunan massa yang terjadi saat kunjungan kerjanya di NTT beberapa waktu lalu.
Pelaporan dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 itu dilakukan oleh Gerakan Pemuda Islam (GPI) dengan mendatangi Bareskrim Polri, Jumat (26/2) kemarin. Namun, laporan itu ditolak.
Sudah dua kali Jokowi dilaporkan terkait kerumunan di NTT tersebut. Pelaporan pertama dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Anti-Ketidakadilan pada Kamis (25/2) dan laporan itu juga ditolak Bareskrim Polri.
Dua laporan yang ditolak Polri itu membuat Wakil Ketua Dewan Penasihat DPP Hanura Inas Nasrullah Zubir heran karena masih saja ada pihak yang melaporkan Jokowi ke Bareskrim Polri. "Heran, kok tidoyak banyak yang paham peraturan dan perundang-undangan yah?," kata Inas saat dihubungi JPNN.com.
Inas menjelaskan bahwa kedatangan Jokowi ke NTT ialah kunjungan kerja yang tentunya sudah diatur dalam perundang-undangan. Kerumunan tersebut juga bersifat insidentil dan tidak terencana.
Jokowi sebagai kepala negara juga memiliki hak imunitas, di mana dirinya tidak bisa dituntut secara hukum saat sedang melaksanakan tugas negara. "Misalnya saja, anggota DPR saja tidak bisa dituntut secara hukum terhadap setiap ucapan dan tulisannya. Nah, apakah ada kesetaraan hukum dalam hal ini?" ujar Inas. (boy/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Boy