jpnn.com, JAKARTA - Pemerhati politik dan kenegaraan Said Salahudin menilai, gagasan Presiden Joko Widodo membentuk badan legislasi nasional, perlu ditinjau ulang. Sebab, masih terdapat sejumlah permasalahan hukum di balik rencana tersebut.
"Di antaranya, terkait persoalan nama dan fungsi dari lembaga dimaksud. Saya masih ingat ketika ide membentuk badan baru di bidang hukum ini dilontarkan Pak Jokowi pertama kali pada sesi debat capres Januari 2019 lalu. Saya menyebut gagasan itu memiliki dimensi kebaruan dalam konteks janji kampanye," ujar Said di Jakarta, Rabu (7/8).
BACA JUGA: Pengumuman! Kaveling di TMP Kalibata Tinggal Sebegini
Menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini, dirinya sudah mengingatkan sejak rencana disampaikan, bahwa pembentukan lembaga dimaksud bisa menuai polemik karena bersifat ‘debatable’.
BACA JUGA: DPD Usulkan Bentuk Ruang Konsultasi Bahas Produk Legislasi
BACA JUGA: Presiden Jokowi Bakal Melawat ke Malaysia dan Singapura Pekan Ini
Pertama, terkait nama lembaganya. Presiden Jokowi ketika itu sudah langsung memberikan nama, Pusat Legislasi Nasional. Kalau nama itu yang dipakai, Said khawatir akronimnya akan serupa dengan nama Perusahaan Listrik Negara atau PLN.
"Tetapi persoalan seriusnya adalah pada penggunaan istilah legislasi di tengah nama lembaga itu. Istilah legislasi jelas sudah tidak lagi tepat digunakan di lingkungan kekuasaan eksekutif," ucapnya.
BACA JUGA: Siap-Siap Pindah ke Ibu Kota Baru ya, Ini Tahapannya
Said lebih lanjut mengatakan, dalam tinjauan hukum tata negara, istilah legislasi merujuk pada pengertian pembuatan undang-undang oleh lembaga perwakilan rakyat, bukan lembaga pemerintah.
Sebelum UUD 1945 diubah, kekuasaan membuat undang-undang memang berada di tangan Presiden. Dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 pra-amendemen disebutkan, presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Artinya, nomenklatur legislasi masih bisa dilekatkan di lembaga eksekutif sebagai pembuat undang-undang.
"Tetapi pasca-amendemen konstitusi 1999-2002, posisinya dibalik. Kekuasaan membentuk undang-undang dialihkan dari lembaga eksekutif ke legislatif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang," katanya.
Dalam hal ini, kata Said, posisi presiden sebagai pihak yang memberikan persetujuan, sehingga setiap rancangan undang-undang harus dibahas dan mendapatkan persetujuan bersama DPR dan presiden. Sebab itu, nomenklatur legislasi sudah tidak lagi menempel di lembaga kepresidenan, melainkan di lembaga DPR. Maka terkait fungsi legislasi itu DPR disebut dengan legislator, sedangkan presiden sebagai eksekutif disebut dengan co-legislator.
Dengan demikian lembaga eksekutif tidak tepat lagi membentuk suatu badan yang bertalian dengan legislasi, sebab dia bukan lembaga legislator yang berwenang menelurkan produk legislasi bernama undang-undang.
Said juga mengatakan, hal ikhwal mengenai legislasi hanya bisa dilekatkan pada lembaga DPR yang menelurkan produk dalam bentuk ‘legislative acts’. Sehingga, sudah tepat ketika DPR membentuk alat kelengkapan dewan yang disebut dengan Badan Legslasi atau Baleg.
"Jadi, apa nama yang tepat untuk lembaga yang hendak dibentuk presiden di lingkungan eksekutif itu? Deharusnya bukan badan legislasi, tetapi badan regulasi. Pengertian regulasi merujuk pada ‘executive acts’ dalam rangka menjalankan produk legislasi dimaksud," katanya.
Sementara itu, terkait fungsi dari lembaga yang hendak dibentuk oleh presiden dimaksud, Said menyebut Jokowi pada saat debat capres mengatakan, pada pokoknya untuk menyelaraskan berbagai peraturan perundang-undangan yang selama ini dinilai masih tumpang tindih, bahkan saling bertentangan antara satu dengan yang lain.
Di antara peraturan yang perlu ‘ditertibkan’ itu menurut Jokowi adalah peraturan daerah atau perda. Semua pembentukan perda nantinya harus terlebih dahulu dikoordinasikan di lembaga baru tersebut.
"Nah, ini juga menjadi persoalan. Merujuk Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, pembentukan perda sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintahan daerah. Konstitusi tidak pernah meminta adanya persetujuan pemerintah pusat dalam hal pembentukan perda," tuturnya.
Said menilai, kalau badan baru itu nantinya diberikan wewenang melakukan semacam ‘executive preview’ atau penilaian diawal terhadap materi muatan suatu perda yang hendak dibentuk oleh pemerintahan daerah, dapat memunculkan persoalan hukum baru.
Pemerintah pusat dalam hal ini badan baru yang hendak dibentuk, jelas tidak memiliki kewenangan melakukan ‘executive preview’. Bahkan kewenangan pemerintah pusat lewat Mendagri untuk menguji peraturan daerah terhadap peraturan pemerintah pusat melalui mekanisme ‘executive review’ pun, sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Pasca putusan MK Nomor 137 PUU-XIII/2015 dan Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 pemerintah pusat sudah tidak dibenarkan lagi menertibkan peraturan daerah yang dinilai bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat," ucapnya.
Menurut Said, perda hanya dapat diuji melalui mekanisme ‘judicial review’ di Mahkamah Agung (MA). Karena itu, sebelum badan dimaksud dibentuk, Said menyarankan Presiden Jokowi memikirkan ulang format dari lembaga dimaksud. Setidaknya, untuk soal nama dan fungsi-fungsinya.
"Lebih bagus lagi jika naskah akademik tentang pembentukan badan dimaksud segera dipublikasikan oleh pemerintah agar publik dan terutama para ahli dapat memberikan masukan kepada presiden," pungkas Said. (gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Koalisi Jokowi Belum Sepakati Jabatan Ketua MPR buat Golkar, Ini Sebabnya
Redaktur & Reporter : Ken Girsang