jpnn.com, JAKARTA - Anggota MPR dari Kelompok DPD Ahmad Kanedi mengatakan syarat presidential threshold (PT) 20 persen merupakan sesuatu yang membingungkan.
Dia menyatakan ambang batas pencalonan presiden 20 persen itu tidak sesuai dengan perintah konstitusi.
BACA JUGA: Ingin Hancurkan Hegemoni Partai Politik, Senator Asal Palu Serukan Penghapusan PT 20 Persen
Kenedi menjelaskan pemakaian presidential threshold ditentang sebagian besar ahli tata negara dan kalangan perguruan tinggi.
Selain itu, ujar dia, pemakaian PT tidak ditemukan dalam praktik ketatanegaraan di negara mana pun di dunia ini.
BACA JUGA: Uji Materi Soal PT 20 Persen Ditolak, Pakar: Semestinya Hakim MK Lebih Peka
"Saya sudah berkeliling ke berbagai kampus, hasilnya tidak ada satupun yang setuju dengan presidential threshold yang dipraktikkan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia," kata Ahmad Kanedi dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (20/2).
Kenedi mengatakan itu saat menjadi narasumber Seminar Pustaka Akademik, kerja sama MPR RI dengan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB), Sabtu (19/2). Tema seminar tersebut adalah "Presidential Threshold Dalam Perspektif Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
BACA JUGA: PKS: PT 20 Persen Membelah Masyarakat
Dia menambahkan di kampus yang dikunjunginya, dirinya sering mendapat pertanyaan mengapa ketentuan ambang batas pencalonan presiden masih digunakan. Menurutnya, masyarakat menilai ketentuan tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
Kenedi menambahkan syarat pencalonan presiden sesuai ketentuan konstitusi adalah warga negara Indonesia, tidak pernah menerima kewarganegaraan negara lain, tidak pernah berkhianat dan tidak melakukan tindak korupsi atau tindak pidana berat lainnya, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
"Ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam praktik politik dan harus kita sadari bersama. Meski menyatakan dirinya sebagai negara hukum, nyatanya belum semua aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengikuti aturan hukum yang ada," paparnya.
Pakar hukum tata negar UNIB Ardilafisa menilai semestinya ambang batas pencalonan presiden digunakan untuk menentukan pemenang, jadi besarnya 50 persen plus satu.
Menurut dia, apabila dalam pilpres belum ada yang mencapai ambang batas tersebut, maka dilakukan pemilihan kedua namun bukan menggunakan ambang batas untuk menentukan calon presiden.
"Silakan semua calon ikut dalam kontestasi, pemenangnya adalah dia yang dapat 50 persen plus satu," katanya dalam kesempatan tersebut.
Ardilafisa juga menyampaikan kekhawatirannya terkait pemilu serentak yang akan digelar pertama pada 2024, karena hal tersebut sangat membahayakan.
Hal itu, kata dia, karena pada akhir periode 2024-2029 semua pejabat negara harus meletakkan jabatannya pada waktu yang bersamaan. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy