jpnn.com, JAKARTA - Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara nasional di Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dinilai membuka ruang lebih besar untuk transaksional politik.
Pasalnya, menurut Pengamat Politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara, partai politik akan mengedepankan semangat koalisi dibanding mengusung calon potensial yang dimilikinya.
BACA JUGA: MK Diminta Cegah Manipulasi Pemilu 2019, Nih Caranya
Pendapat ini sebelumnya juga dikemukakan Effendi Gozali, salah seorang Pemohon judicial review UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Jadi benar bahwa adanya PT 20 persen memang mengusung semangat koalisi parpol, dan biasanya berujung transaksional," kata Igor kepada awak media.
BACA JUGA: Fadli Zon Tegaskan Presidential Threshold Banyak Mudarat
Bahkan dengan PT 20-25 persen yang sudah disahkan DPR, parliamentary threshold (4 persen), sistem pemilu terbuka, dapil magnitude (3-10 kursi), dan dengan metode konversi suara sainte lague murni, maka PDIP dan Presiden Joko Widodo lebih diuntungkan.
"Sekalipun tidak ada satu pun parpol yang bisa mengusung capresnya sendiri. PDIP sebagai pemenang pemilu 2014 harus berkoalisi dengan partai lain untuk mencapai PT 20 persen. Itu karena petahana bisa dengan agresif dan leluasa melakukan politik dagang sapi kepada partai pengusungnya nanti," ucap Igor.
BACA JUGA: Yakinlah, MK Akan Batalkan Presidential Threshold
Karena itu, direktur lembaga Survei dan Polling Indonesia (SPIN) ini menilai, dengan kondisi demikian lebih baik semua parpol peserta pemilu yang lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) diberikan kesempatan yang sama untuk mencalonkan atau mengusung calon presidennya tanpa PT (0 persen).
"Ini lebih menciptakan kompetisi dalam pemilu yang sehat, dan kandidat tidak tersandera oleh koalisi parpol yang mengusungnya ketika menang," tandasnya.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Yusril Ihza Mahendra Membalikkan Argumen Putusan MK
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam