jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengingatkan masyarakat tidak menganggap enteng risiko dari polusi udara.
Hal itu karena bisa berdampak pada gangguan kesehatan bahkan berpotensi menimbulkan kematian.
BACA JUGA: Deteksi Dini Penting Atasi Asma pada Anak-Anak
"Salah satu penyakit respirasi yang sering timbul akibat terpapar polusi ini adalah asma," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, Minggu (11/8).
Prevalensi asma di Indonesia cukup mengkhawatirkan, dengan sekitar 7% atau sekitar 18 juta individu terkena Penyakit asma pada 2022 dan makin diperparah oleh tingkat polusi yang memprihatinkan, yang memerlukan tindakan mendesak dan tegas untuk melindungi kesehatan masyarakat.
BACA JUGA: 6,7 Juta Orang Indonesia Idap Penyakit Hepatitis, Kemenkes Imbau Hal Ini Kepada Masyarakat
Menteri Koordinator Luhut Binsar Pandjaitan, bahkan baru-baru ini menyoroti peningkatan biaya subsidi kesehatan akibat persoalan polusi udara yang telah menimbulkan kekhawatiran besar, dengan perkiraan mencapai hingga Rp 38 triliun.
Berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators, asma termasuk dalam lima penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, selain penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, dan tuberkulosis.
BACA JUGA: Tekan Polusi Udara, Pemprov DKI Memperbanyak Bus Listrik
Menanggapi tingginya prevalensi penyakit asma dan PPOK, pemerintah tengah melakukan penguatan layanan primer yang termasuk dalam enam pilar strategis Transformasi Kesehatan.
“Polusi udara dapat memicu serangan asma, maka pemerintah fokus pada memperkuat layanan primer agar bisa mengdiagnosa asma dan memberi penanganan medis dengan tujuan untuk memastikan masyarakat dengan asma memiliki akses ke layanan kesehatan yang tepat dan berkualitas,” sebut Nadia.
Upaya penguatan faskes primer meliputi penyediaan alat spirometri untuk puskesmas. Spirometri sudah mulai disediakan dengan nakes yang telah dilatih, meningkatkan kemampuan dokter untuk mengdiagnosa asma dan memastikan pasien memiliki akses ke obat yang sesuai dengan tatalaksana medis.
Nadia menuturkan, saat ini dokter puskesmas telah memiliki kompetensi dasar untuk 144 penyakit. Namun, khususnya asma ketersediaan obat di Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) masih belum sesuai tatalaksana dan pedoman lokal terhadap penatalaksanaan penyakit asma dan dapat meningkatkan angka kejadian serangan asma akut.
"Yang tidak masuk dalam kompetensi 144 penyakit, baik dari gejala klinis yang makin berat, perberatan penyakit, tidak tersedia sarana dan prasarana untuk mengobati dan obat yang dibutuhkan merupakan kompetensi FKRTL," tegasnya.
Ketua Kelompok Kerja Asma dan PPOK Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Dr. Budhi Antariksa, SpP(K), menyebutkan obat-obat di Puskesmas hanya untuk tatalaksana asma akut.
Tidak dapat digunakan untuk tatalaksana asma jangka panjang yang menyebabkan pasien harus dirujuk ke rumah sakit dengan akses terhadap obat yang sesuai.
Meskipun asma sudah termasuk dalam kompetensi dasar dokter umum di puskesmas, PDPI mengingatkan pemerintah harus bekali puskesmas dengan obat inhalasi pengontrol.
“Itu benar dokter umum sudah dibekali ilmu kompetensi untuk 144 penyakit, termasuk asma bronchial, tetapi kalau obat pengontrol belum tersedia di puskesmas, dokter puskesmas harus merujuk pasien asma ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan spesialistik sesuai anjuran BPJS,” katanya.
Ketiadaan obat pengontrol inhalasi di puskesmas menjadi salah satu faktor yang berkontribusi signifikan pada biaya pengobatan asma tinggi dan peningkatan risiko serangan asma tidak terkontrol.
“Tanpa ketersedian obat pengontrol penting ini di puskesmas, risiko pasien asma akan terus meningkat dan menyebabkan lebih dari 57,5% pasien asma masuk IGD dan membutuhkan perawatan khusus di rumah sakit ketika kondisi mereka tidak terkontrol,” ujarnya.
Hasil studi Pusat kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Universitas Indonesia (CHEPS UI) yang melakukan kajian penguatan pengobatan tersedia di puskesmas untuk salah satu 144 penyakit kompetensi dokter umum, yaitu diabetes.
CHEPS UI menyebutkan, pengalihan terapi insulin dari rumah sakit ke puskesmas dapat mengurangi beban biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk penanganan diabetes hingga 14% atau sekitar 17% per tahun.
Dengan estimasi penghematan anggaran sekitar Rp 22 triliun (2024-2035), atau setara dengan rata-rata penghematan Rp 1,7 triliun setiap tahunnya.
“Dalam meningkatkan kapabilitas pelayanan kesehatan primer, kami mengajak para pemangku kepentingan, terutama tenaga kesehatan dan asosiasi profesi untuk bersama mendukung penguatan fasilitas kesehatan tingkat lini pertama (FKTP),” pungkas Nadia. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad