Pria Disabilitas Jadi Tersangka Pemerkosaan Mahasiswi, Ini Analisis Reza Indragiri

Senin, 02 Desember 2024 – 09:14 WIB
Reza Indragiri Amriel. Polri. Foto: Andika Kurniawan/JPNN.com

jpnn.com - Kasus pria disabilitas bernama I Wayan Agus Suartama (IWAS) alias Agus (21) menjadi tersangka pemerkosaan mahasiswi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) menyita perhatian publik.

Korban kasus dugaan pemerkosaan itu seorang mahasiswi berinisial MA.

BACA JUGA: Heboh Pria Disabilitas di NTB Jadi Tersangka Pemerkosaan Mahasiswi, Begini Kejadiannya

Kasus ini ditangani oleh penyidik Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) IV Ditreskrimum Polda NTB.

Kasus pemerkosaan mahasiswi itu menyita perhatian publik lantaran tersangka Agus merupakan disabilitas tunadaksa yang tidak memiliki dua tangan.

BACA JUGA: Sherly Tjoanda Bikin Sejarah di Maluku Utara

Terkait kasus itu, pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel punya analisis bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan tidak melulu dalam bentuk fisik.

Ancamannya menurut Reza, bisa secara psikis. Misalnya, ancaman akan menyebar foto telanjang korban jika tidak memenuhi kehendak pelaku.

BACA JUGA: Komnas HAM Klarifikasi Polda Jateng soal Kasus Polisi Tembak Mati Siswa SMK

"Dengan mempraktikkan modus intimidasi psikologis itu, pelaku disabilitas bisa saja memaksakan dorongan seksual jahatnya. Dia bisa memaksa korban untuk melayani nafsu bejatnya," kata Reza dikonfirmasi JPNN.com, Senin (2/12/2024).

Pakar penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu lantas menyinggung tiga elemen yang membuat kejahatan seksual bisa terjadi.

Pertama, authority (kemampuan kendali pelaku atas korban).

Kedua, dependence (ketidakberdayaan, ketergantungan korban pada pelaku.

Ketiga, exploitation (penguasaan, pemanfaatan diri korban oleh pelaku).

Elemen pertama dan kedua merupakan dimensi mental. Elemen ketiga adalah dimensi perilaku (behavioral).

"Jika ketiganya ada, maka kejahatan seksual terjadi. Terlepas apakah pelaku menyandang disabilitas fisik atau tidak," tuturnya.

Menurut sarjana psikologi dari UGM Yogyakarta itu, inti pemerkosaan dan sejenisnya adalah tidak adanya konsensual.

"Artinya, jika kontak seksual tidak disetujui kedua pihak berbeda jenis kelamin, maka itu pidana," ucapnya.

Secara fisik, kata Reza, pemerkosaan adalah penetrasi penis ke dalam vagina. Baru disebut pemerkosaan ketika perilaku seksual tersebut berlangsung secara nonkonsensual.

"Cek A-D-E yang tadi saya tulis," lanjut Reza. A merujuk pada authority, D pada dependence, dan E merujuk exploitation.

Menurut Reza, mereka yang menolak mentah-mentah kemungkinan penyandang tunadaksa menjadi pemangsa seksual tampaknya sebatas berimajinasi tentang tangan pelaku mencengkeram tangan korban lalu memerkosanya.

"Mereka lupa bahwa esensi -sekali lagi, esensi pemerkosaan ada pada sikap batin. Bukan pada aktivitas motorik seksual," kata Reza Indragiri.(fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler