Pria Disabilitas Tersangka Pemerkosaan Mahasiswi Buka Suara soal Kejadian di Homestay

Senin, 02 Desember 2024 – 10:15 WIB
Ilustrasi pemerkosaan. Foto : Ricardo/JPNN com

jpnn.com - Pria disabilitas di Mataram, NTB bernama I Wayan Agus Suartama (IWAS) alias Agus (21) yang jadi tersangka pemerkosaan mahasiswi beri pengakuan soal apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam kasus ini Agus yang seorang pria disabilitas dituduh melakukan rudapaksa terhadap mahasiswi berinisial MA.

BACA JUGA: Heboh Pria Disabilitas di NTB Jadi Tersangka Pemerkosaan Mahasiswi, Begini Kejadiannya

Namun, versi Agus, justru wanita yang melaporkannya itulah yang membuka pakaiannya.

Agus yang merupakan warga Kecamatan Selaparang, ditetapkan tersangka pemerkosaan oleh penyidik Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) IV Ditreskrimum Polda NTB.

BACA JUGA: Pria Disabilitas Jadi Tersangka Pemerkosaan Mahasiswi, Ini Analisis Reza Indragiri

Agus menyampaikan bahwa pada awalnya dia berjalan-jalan di teras teras Udayana dan berkenalan dengan MA.

Menurut Agus, dia lantas meminta bantuan ke MA untuk mengantar ke kampus, tetapi malah dibawa wanita itu ke sebuah homestay.

BACA JUGA: Sherly Tjoanda Bikin Sejarah di Maluku Utara

Agus bahkan mengatakan bahwa sewa homestay itu juga dibayar oleh MA dan peristiwa persetubuhan terjadi di sana.

"Saya ikut saja sampai masuk ke kamar dan kami melakukan itu semua. Jadi, ini dasar suka sama suka," ujar Agus.

Agus mengatakan bila wanita itu merasa terancam bisa saja MA melakukan perlawanan, apalagi dengan keterbatasan kondisi fisiknya.

Diketahui, Agus merupakan disabilitas yang tidak memiliki kedua tangan.

"Dia yang fasilitasi, masa saya dibilang memerkosa? Saya akui kami lakukan itu tetapi dia yang membuka pakaian saya," ungkapnya.

Kasubdid IV Renakta Polda NTB AKBP Ni Made Pudjawati sebelumnya menyampaikan bahwa Agus jadi tersangka setelah penyidik mendapatkan keterangan dari saksi ahli.

AKBP Ni Made Pudjawati menjelaskan bahwa Agus menggerakkan seseorang untuk melakukan perbuatan yang dia kehendaki.

"Dia menggerakkan seseorang untuk mau melakukan suatu tindakan yang dia kehendaki," paparnya.

Menurut AKBP Ni Made ada hal yang membuat korban tak kuasa menolak hubungan terlarang dengan tersangka rudapaksa.

"Adanya suatu kondisi yang kemudian korban merasa takut sehingga tidak bisa kuasa untuk menolak keinginan tersangka," ujarnya.

Analisis Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri

Terkait kasus itu, pakar psikologi forensik Reza Indragiri punya analisis bahwa kekerasan atau ancaman kekerasan tidak melulu dalam bentuk fisik.

Ancamannya menurut Reza, bisa secara psikis. Misalnya, ancaman akan menyebar foto telanjang korban jika tidak memenuhi kehendak pelaku.

"Dengan mempraktikkan modus intimidasi psikologis itu, pelaku disabilitas bisa saja memaksakan dorongan seksual jahatnya. Dia bisa memaksa korban untuk melayani nafsu bejatnya," kata Reza dikonfirmasi JPNN.com, Senin (2/12/2024).

Pakar penyandang gelar MCrim dari University of Melbourne Australia itu lantas menyinggung tiga elemen yang membuat kejahatan seksual bisa terjadi.

Pertama, authority (kemampuan kendali pelaku atas korban). Kedua, dependence (ketidakberdayaan, ketergantungan korban pada pelaku. Ketiga, exploitation (penguasaan, pemanfaatan diri korban oleh pelaku).

Elemen pertama dan kedua merupakan dimensi mental. Elemen ketiga adalah dimensi perilaku (behavioral).

"Jika ketiganya ada, maka kejahatan seksual terjadi. Terlepas apakah pelaku menyandang disabilitas fisik atau tidak," tuturnya.

Menurut sarjana psikologi dari UGM Yogyakarta itu, inti pemerkosaan dan sejenisnya adalah tidak adanya konsensual.

"Artinya, jika kontak seksual tidak disetujui kedua pihak berbeda jenis kelamin, maka itu pidana," ucapnya.

Secara fisik, kata Reza, pemerkosaan adalah penetrasi penis ke dalam vagina. Baru disebut pemerkosaan ketika perilaku seksual tersebut berlangsung secara nonkonsensual.

"Cek A-D-E yang tadi saya tulis," lanjut Reza. A merujuk pada authority, D pada dependence, dan E merujuk exploitation.

Menurut Reza, mereka yang menolak mentah-mentah kemungkinan penyandang tunadaksa menjadi pemangsa seksual tampaknya sebatas berimajinasi tentang tangan pelaku mencengkeram tangan korban lalu memerkosanya.

"Mereka lupa bahwa esensi -sekali lagi, esensi pemerkosaan ada pada sikap batin. Bukan pada aktivitas motorik seksual," kata Reza Indragiri.(fat/disway/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler