EKO Prayogo, mantan karyawan Jawa Pos dan pesepakbola di era Galatama, meninggal dunia. Pria kelahiran Blitar itu berpulang tanpa pernah sekali pun mengeluh sakit. Keinginan terakhirnya melihat perpecahan di persepakbolaan Surabaya berakhir.
---------------
Laporan Aqwam Fiazmi Hanifan, Surabaya
---------------
SABTU malam lalu (7/2) itu, sama sekali tak ada rasa sakit, tak ada tangisan rengekan di salah satu kamar di Rumah Sakit Darmo Surabaya, tempat Eko Prayogo dirawat. Yang ada justru saling ledek dan canda tawa.
”Saya sempat ngobrol banyak dengan Mas Eko. Beliau juga ketawa-ketawa aja,” ucap Mursyid Effendi, pelatih tim PON Remaja Jatim yang Sabtu malam lalu membesuk koleganya tersebut.
BACA JUGA: Herman Efendi Sudarsono, PNS Merangkap Pengusaha Kuliner dan Pembalap
Setelah asyik berdiskusi dan bercengkerama, Mursyid serta beberapa rekan merasa lapar dan pamit untuk mencari makanan. Tepat pukul 11 malam mereka datang lagi.
Dilihatnya Eko sedang tertidur lelap. Mendengkur dan terlihat nyenyak. ”Saya nggak pernah lihat beliau tidur nyenyak seperti kemarin (Sabtu, Red),” kata Mursyid tentang asisten pelatih tim PON Remaja Jatim itu.
BACA JUGA: Bujang-bujang Tamatan SMK Ini Bergaji Rp 10 Juta
Mursyid pun pulang. Mantan kapten Persebaya Surabaya tersebut tak pernah menyangka ternyata itu adalah perjumpaan terakhirnya dengan Eko.
Kemarin siang, saat kembali berniat menjenguk mantan pemain klub Galatama Perkesa 78 Sidoarjo dan Mitra Surabaya tersebut, kabar duka diterimanya. Eko meninggal dunia karena penyakit leukemia yang diderita.
BACA JUGA: Suhadi, si Gila Basket Pemilik Hi-Test Arena Batam
”Saya kaget…sangat kaget,” ungkap Mursyid dengan nada getir ketika ditemui di rumah duka di kawasan Kebraon, Surabaya.
Eko yang semasa aktif bermain biasa berposisi gelandang dan sesekali libero berpulang kemarin siang (8/2), pukul 12.50 WIB, di usia 54 tahun. Almarhum meninggalkan seorang istri, tiga orang anak, seorang menantu, dan seorang cucu.
Pria berpostur tinggi besar itu juga hampir 25 tahun mengabdi di Jawa Pos sebagai staf olah foto sebelum purnatugas pada Desember tahun lalu. Eko bergabung dengan Jawa Pos di senja kala karirnya sebagai pemain.
Masuknya Eko ke koran dengan segudang prestasi internasional tersebut juga mengawali masuknya beberapa mantan pemain Mitra Surabaya, klub yang didirikan mantan Chairman Jawa Pos Dahlan Iskan setelah NIAC Mitra bubar.
Di antaranya Abdillah Muchsin yang purnatugas berbarengan dengan Eko dan Agus Sarianto yang sampai saat ini masih aktif bekerja di Jawa Pos. Meski aktif di Jawa Pos, Eko tetap menjadikan sepak bola bagian keseharian hidupnya.
Bukan hanya Mursyid yang sangat kaget atas kepulangannya. Falcao Chrisdian Imanuel, putra sulung Eko, juga mengungkapkan, keluarga sama sekali tak menyangka ketika Eko didiagnosis terkena leukemia. ”Soalnya, nggak ada gejala-gejalanya. Bapak juga meninggal dengan sangat cepat,” kata Falcao.
Eko memang dikenal sebagai sosok yang hampir tak kenal capek. Sehari-hari waktunya hampir selalu dihabiskan di lapangan Lidah Wetan, markas Mitra Surabaya, klub tempat dia menjadi ketua.
Mitra yang di-uri-uri Eko adalah klub amatir yang turut didirikannya bersama beberapa mantan pemain Mitra Surabaya setelah klub Galatama itu bubar.
Selain punya tim ”senior” (maksimal pemain berusia 21 tahun) yang diterjunkan di Kompetisi Internal Persebaya, Mitra Surabaya memiliki sekolah sepak bola yang dibagi ke dalam kelompok umur U-10, U-12, U-14, dan U-16.
”Dia selalu berpegang teguh bahwa Mitra itu milik dan jadi identitas publik Surabaya,” ucap Hanafing, mantan pemain NIAC Mitra dan Mitra Surabaya, mengenang.
Selama belasan tahun Mitra Surabaya adalah laboratorium bagi Eko untuk memformulasikan suatu sistem yang mampu menghasilkan bibit-bibit pesepak bola terbaik di Surabaya. Dari sana akhirnya lahir Evan Dimas Darmono.
Mantan kapten timnas U-19 itu adalah bintang muda lapangan hijau paling bersinar di tanah air saat ini. Juga Rendi Irawan, penggawa tim PON Jatim 2008 yang sukses merebut emas dan pernah pula membela timnas.
Di luar Evan dan Rendi, sederet pemain hasil binaan Mitra pernah dan masih membela klub-klub di Liga Indonesia dalam berbagai level.
Karakternya sebagai pelatih sama seperti karakternya di mata keluarga: keras, disiplin, dan bertanggung jawab. Falcao juga mengenang sang bapak sebagai sosok yang cepat akrab dengan siapa saja dan hampir tak mengenal lelah.
Kepada rekan-rekan kantor, Eko memang pernah berujar, ke lapangan adalah hiburan terbesar baginya. ”Kalau nggak ketemu anak-anak sehari saja bisa sakit saya,” katanya dalam sebuah kesempatan.
Karena itu pula, di tengah jadwal melatihnya yang sebenarnya sudah padat, Eko dengan senang hati melatih para karyawan Jawa Pos di Askring alias Asal Keringetan. Juga di Futsal for Fun (FFF), tim futsal yang isinya juga para karyawan Jawa Pos.
Bahkan, di bawah penanganannya, FFF menjadi tim yang kenyang prestasi di level antarmedia di Surabaya dan Jawa Timur. FFF, di antaranya, pernah menjuarai Liga Media, Piala Wali Kota Surabaya, dan Piala Petrokimia.
Sejak terjun sebagai pelatih, Eko selalu lebih memilih fokus pada pembinaan pemain muda. Itu pula yang membuatnya antusias bersama Mursyid menangani tim PON Remaja Jatim.
Hasilnya? Tim besutan mereka sukses merebut emas di edisi perdana PON Remaja tahun lalu. ”Beliau itu semangat sekali kalau ngurusin anak-anak muda. Bahkan, urusan sekolah para pemain beliau yang handle,” papar Mursyid.
Bahkan, di percakapan terakhir mereka pun, Eko hanya memperbincangkan sepak bola. ”Yang bikin saya sedih, ada keinginan beliau yang belum terpenuhi, yaitu melihat perpecahan di sepak bola Surabaya yang sampai mengakibatkan dualisme Persebaya segera selesai. Semuanya damai dan bersatu lagi seperti dulu demi kepentingan generasi muda,” ungkap Mursyid.
Dalam sebuah kolomnya di Radar Surabaya (Jawa Pos Group) tiga tahun lalu, Dahlan Iskan pernah menyebut Eko sebagai sosok yang hati, pikiran, dan passion-nya untuk sepak bola.
"Saya tentu bangga dengan orang yang sangat mencintai sepak bola seperti Eko. Dia terkenal bukan karena suka bertengkar di kepengurusan PSSI, tapi karena karyanya sangat nyata bagi persepakbolaan tanah air,” tulis Dahlan ketika itu.
Kerendahan hati Eko juga bisa terbaca dari pengakuan betapa bangganya dirinya kalau ada pemain yang dididiknya tetap mengenangnya meski sudah jadi ”orang”. ”Walaupun cuma disapa di jalan atau sekadar disalami, saya sudah senang sekali,” katanya suatu saat.
Terus mengalirnya pelayat di rumah duka, yang sebagian merupakan mantan anak didiknya, seperti disaksikan Jawa Pos tadi malam, memperlihatkan bahwa sosok Eko tak akan pernah dilupakan. Karena itulah, dia bisa berpulang dengan membawa segudang kebanggaan. Selamat jalan, Pak Eko! (*/c9/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua Investigasi Kecelakaan AirAsia Itu Teriak: Tidak Boleh Dibuka!
Redaktur : Tim Redaksi