Ketua Investigasi Kecelakaan AirAsia Itu Teriak: Tidak Boleh Dibuka!

Sabtu, 07 Februari 2015 – 00:18 WIB
Mardjono Siswosuwarno (dua dari kanan) menjelaskan progres investigasi kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 di kantor KNKT beberapa waktu lalu. Foto: Ariski Prasetyo/Jawa Pos

MASIH ada misteri di balik kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501. Prof Dr Mardjono Siswosuwarno, sebagai ketua investigasi kecelakaan pesawat yang menewaskan 162 penumpang, harus mampu mengungkap penyebab insiden itu.
-----------
Laporan Ariski Prasetyo, Jakarta
-----------
SEJAK serpihan dan korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 ditemukan di Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, kantor Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, terlihat ramai.

Gedung peninggalan Belanda itu setiap hari selalu dipadati awak media. Mulai pagi hingga tengah malam, para pemburu berita berusaha mencari informasi tentang penyebab kecelakaan pesawat jurusan Surabaya–Singapura, 28 Desember 2014, tersebut.

BACA JUGA: Enaknya Jadi Warga di Daerah Ini, Terapkan Hidup Sehat Dapat Umrah Gratis

Markas KNKT bertambah ramai ketika tim gabungan Badan SAR Nasional (Basarnas) dan TNI berhasil menemukan kotak hitam (black box) pesawat bikinan Prancis itu. Petugas KNKT di lapangan langsung membawa peranti yang merekam semua percakapan pilot selama dalam penerbangan tersebut ke kantor KNKT.

Dengan pengawalan ketat dari Pangkalan Bun, alat itu diterbangkan ke Jakarta agar bisa secepatnya dibuka dan dianalisis isinya.

BACA JUGA: Kisah Sukses Hugua Mempromosikan Eksotisme Wakatobi ke Dunia

Sempat terjadi ketegangan ketika para wartawan meminta kotak hitam tersebut dibuka, namun pihak KNKT menolak.

’’Tidak boleh dibuka. Langsung masukkan ke laboratorium,’’ perintah Prof Dr Mardjono Siswosuwarno, ketua tim investigasi kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501, dengan nada tinggi.

BACA JUGA: Traveling and Teaching: Lebih Mudah Persentasi di Depan Klien

Meski kecewa, awak media tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun hanya bisa mengambil gambar dari luar. Mereka juga bisa memahami penolakan itu karena terkait dengan pentingnya informasi yang terdapat di dalam kotak hitam tersebut.

Menurut Ketua KNKT Tatang Kurniadi, kotak hitam ditemukan dalam kondisi baik. Baik flight data recorder (FDR) maupun cockpit voice recorder (CVR). ’’Selanjutnya, black box ini akan dibongkar dan dianalisis tim investigasi KNKT yang dipimpin Pak Mardjono (Mardjono Siswosuwarno, Red),’’ ujar Tatang.

Di dunia keselamatan penerbangan di Indonesia, nama Mardjono memang masih kalah tenar jika dibandingkan dengan Tatang Kurniadi atau Ketua Basarnas Marsda TNI F.H. Bambang Soelistyo. Padahal, pria 67 tahun itu merupakan ’’orang lama’’ di bidang tersebut.

Dia sudah puluhan tahun berkiprah di KNKT, khususnya menangani kasus kecelakaan pesawat terbang. Bahkan, banyak kalangan yang menilai Mardjono adalah ahli dalam membongkar penyebab kecelakaan pesawat.

Sedikitnya sudah enam kecelakaan pesawat yang ditangani Mardjono. Yakni, kecelakaan pesawat Silk Air di Sungai Musi (1997) dan insiden Adam Air 574 pada 28 Agustus 2007. Pesawat jurusan Jakarta–Surabaya–Manado itu jatuh di perairan Mamuju, Sulawesi Barat.

Lalu, kecelakaan Garuda Indonesia GA-2000 di Jogjakarta (7 Maret 2007) yang menewaskan 22 orang, kecelakaan pesawat Merpati 8968 di Kaimana, serta musibah jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 (9 Mei 2012). Joy flight dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Pelabuhan Ratu itu berakhir tragis lantaran pesawat menabrak Gunung Salak.

’’Sekarang saya dipercaya lagi untuk memimpin tim investigasi kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata,’’ kata Mardjono ketika ditemui Jawa Pos (induk JPNN) di kantornya, Senin pekan lalu (26/1).

Dari seluruh kecelakaan itu, kecuali AirAsia yang kini masih dalam penyelidikan, Mardjono berhasil mengungkap penyebabnya dengan gamblang. Rata-rata disebabkan buruknya cuaca, kecuali Adam Air yang disebabkan kerusakan pesawat. Saat itu, alat bantu navigasi inertial reference system (IRS) Adam Air rusak. Pilot pun panik. Dia berupaya keras memperbaiki alat tersebut, tapi gagal.

’’Pesawat langsung menghunjam ke dasar laut dengan kecepatan 1.000 km/jam,’’ jelasnya.

Keahlian Mardjono dalam menginvestigasi jatuhnya pesawat memang tidak diperoleh dengan mudah. Dia harus menimba ilmu dari banyak orang untuk meningkatkan kemampuan. Tepatnya setelah mendapat gelar doktor dari In de Toegepaste University, Belgia, di bidang metalurgi pada 1981. Namun, dia tidak langsung bergabung dengan KNKT.

Berawal dari kampus, Mardjono mempelajari aspek mekanik komponen pesawat. Misalnya, komponen mesin, baling-baling, serta bodi pesawat. ’’Bahan-bahannya kami harus tahu,’’ ujarnya.

Tidak sekadar tahu, dia juga harus bisa mengetahui dan menyelidiki penyebab rusaknya komponen pesawat tersebut. Misalnya, mesin pesawat saat kecelakaan. Kondisi mesin bisa merusak komponen listrik, pecah atau patah. Dari mesin itu, bisa ditambahkan data penyebab jatuhnya pesawat selain dari kotak hitam.

Selain di kampus, Mardjono pernah ’’magang’’ di pabrik. Di sana, dia mesti mempelajari sebuah sistem yang berjalan di pabrik. Menurut dia, ada kemiripan antara pabrik dan pesawat.

Terkait dengan sistem tersebut, jika ada satu saja bagian yang terganggu, bagian lain akan ikut terganggu. Akibatnya, jika itu terjadi di pabrik, produksi tidak bisa berjalan, sedangkan pada pesawat, mesin akan rusak.

Setelah rampung menimba ilmu, Mardjono bergabung di KNKT. Tepatnya setelah insiden jatuhnya pesawat Singapura Silk Air 185 pada Desember 1997. Pesawat komersial jurusan Jakarta–Singapura itu jatuh di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan.

Kecelakaan tersebut menewaskan 104 orang. Oleh pemerintah, Mardjono diminta menjadi tim investigator kecelakaan itu.

Mardjono tidak bisa melupakan pengalaman pertama bertugas di KNKT. Dia memaparkan, insiden jatuhnya Silk Air itu menjadi pelajaran pertama sekaligus yang paling unik. Sebab, dengan kecepatan tinggi, pesawat meluncur ke Sungai Musi. Alhasil, bodi pesawat hancur berkeping-keping.

Ayah dua anak tersebut menyatakan miris melihat kejadian itu. Sebab, puing pesawat yang ditemukan petugas di dasar sungai sangat banyak. Saking banyaknya, KNKT diminta menyewa alat pengeruk untuk mengangkat kepingan pesawat dari dasar sungai. Bentuk pesawat itu pun sudah susah dikenali. ’’Sebesar 73 persen bodinya hancur,’’ ujarnya.

Mardjono mengungkapkan, kecelakaan Adam Air 574 merupakan kasus yang paling susah dipecahkan. Sebab, sejak dinyatakan kehilangan kontak dan jatuh pada Januari 2007, pesawat baru ditemukan delapan bulan setelah itu, yakni 28 Agustus 2007.

Hal itu terjadi setelah kapal Baruna Jaya I milik Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) berhasil menemukan sinyal kotak hitam, yakni di sekitar perairan Mamuju.

Untuk meyakinkan benda itu merupakan bodi pesawat Adam Air, kapal Baruna Jaya menurunkan remotely operated vehicle (ROV). Yaitu, robot penyelam yang dilengkapi kamera. ’’Letaknya di palung laut. Sekitar 2.000 meter,’’ ungkapnya.

Mardjono yang kala itu sudah menjadi ketua tim investigasi kecelakaan pesawat KNKT pun bingung. Sebab, biaya pengangkatan bodi pesawat akan sangat mahal. Karena itu, KNKT memutuskan hanya akan mengambil kotak hitam dari dasar laut. Kondisinya masih baik sehingga KNKT berhasil membuat laporan hasil penyelidikan dengan cepat. ’’Tujuh bulan sudah selesai,’’ ujarnya.

Nah, kondisi kotak hitam AirAsia QZ8501 ternyata sama dengan Adam Air. Hal itu membuat optimisme Mardjono membubung tinggi untuk bisa segera menyelesaikan hasil investigasi.

Apalagi, setelah didengarkan tim, kondisi FDR maupun CVR masih sangat bagus. Karena itu, Mardjono yakin laporan akhir investigasi jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 bisa selesai dalam setahun.

Apalagi fasilitas laboratorium di KNKT sangat canggih. Penerjemahan percakapan pilot di kotak hitam tidak perlu dilakukan di negara asal pesawat itu dibuat.

’’Pihak Prancis hanya membantu. Kami yang meneliti semuanya,’’ ujarnya

Sebagai investigator, Mardjono menyatakan sering trauma ketika mendengarkan suara percakapan di dalam kotak hitam. Sebab, suara yang terdengar tidak biasa. Yakni, suara orang menjelang ajal tiba. ’’Saya sempat tidak bisa tidur.’’

Bukan hanya itu, kesibukan sebagai dosen dan ketua tim investigasi membuat suami Endang Tjipta Diningsih tersebut harus bolak-balik Jakarta–Bandung.

Maklum, Mardjono tidak bisa meninggalkan tugas akademisnya sebagai dosen di Fakultas Teknik Mesin dan Kedirgantaraan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dalam sepekan, dia mesti dua kali mengajar.

Meski begitu, dia tidak merasa lelah. Semangatnya justru terus terpompa. Menurut Mardjono, menjadi ketua tim investigasi bukan sebuah beban, melainkan amanah yang harus diselesaikan. ’’Saya ngalah, tidak apa-apa harus bolak-balik Bandung–Jakarta. Semua demi bangsa,’’ tegasnya. (*/c5/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Traveling and Teaching: Siswa Berpakaian Hitam, Siswi Kenakan Kebaya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler