jpnn.com, JAKARTA - Ketua Program Magister Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional (Unas) Jakarta Made Adyana meminta pemerintah mengevaluasi pemberlakuan ketentuan penyederhanaan tata niaga impor.
Adyana secara khusus menyoroti ketentuan tentang pemberlakuan post border dalam pengawasan impor yang berlaku mulai Februari 2018.
BACA JUGA: Jumlah Ekspor Ikan Hias Indonesia Masih yang Tertinggi
Kebijakan post border itu adalah pemberlakuan pelonggaran kebijakan impor. Awalnya pengendalian impor dilakukan oleh Bea Cukai yang kemudian diserahkan ke Kementerian Perdagangan.
Menurut Adyana, pemberlakuan post border menyebabkan produk impor membanjiri pasar domestik.
BACA JUGA: Nilai Ekspor Jatim Turun 12,44 Persen
Hal itu membuat pertumbuhan neraca dagang Indonesia berada di posisi yang mengkhawatirkan karena terus mengalami defisit sejak awal 2017 hingga Agustus 2018.
“Membanjirnya barang-barang impor mengancam keberlangsungan industri dalam negeri dan ketersediaan lapangan pekerjaan,” kata Adyana dalam seminar bertajuk Memperkuat Ekonomi Nasional Melalui Peningkatan Ekspor di kampus Unas, Jakarta, Rabu (17/10).
BACA JUGA: Nonmigas dan Migas Sama-Sama Turun
Adyana menambahkan, ekspor Indonesia pada 2017 mengalami kenaikan hingga 6,93 persen dibandingkan 2016.
Namun, sambung Adyana, kenaikan ekspor itu juga dibarengi dengan melonjaknya impor dari USD 12.782 miliar menjadi USD 15.061 miliar.
“Naik sebesar 17,83 persen. Artinya, kenaikan impor tidak diimbangi dengan kenaikan ekspor,” kata Adyana.
Dia menjelaskan, penurunan komoditas ekspor terjadi pada produk andalan Indonesia yang berbasis sumber daya alam (SDA) dan memiliki keunggulan komparatif.
Misalnya, karet, kopi, minyak sawit, serta produk yang dihasilkan dengan teknologi rendah dan padat karya seperti kayu lapis, kertas, alas kaki, pulp, tekstil, serta pakaian jadi.
Di sisi lain, peningkatan impor nonmigas terbesar pada Agustus 2018 dibandingkan Juli 2018 adalah golongan susu, mentega, dan telur yang mencapai USD 48,6 juta atau setara 94,19 persen.
Sementara itu, penurunan impor terbesar adalah golongan mesin dan pesawat mekanik sebesar USD 296,3 juta atau setara 11,31 persen.
“Artinya, pemberlakuan ketentuan mengenai post border tidak efektif untuk mengurangi defisit neraca perdagangan. Sebab, impor yang datang bukan impor yang dibutuhkan sebagai pendukung ekspor, tetapi justru impor yang lebih berorientasi untuk kebutuhan konsumtif, “ jelas Adyana.
Dalam kesempatan yang sama, dosen Pascasarjana Administrasi Publik Unas Rusman Gazali merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan adanya surplus perdagangan sebesar USD 230 juta pada September 2018.
Namun, menurut dia, surplus tersebut bukan semata-mata karena keberhasilan pemerintah mengendalikan impor.
Surplus itu, kata Rusman, lebih karena keberhasilan penerapan ketentuan penggunaan Biodiesel 20 (B-20) terhadap bahan bakar minyak.
Penerapan aturan itu berhasil mengurangi impor migas sebesar 25,20 persen dibanding Agustus 2018.
“Kita patut mensyukuri penurunan angka impor tersebut. Namun, ini tetap rentan karena impor nonmigas hanya turun 10,52 persen. Itu pun yang turun malah impor mesin/peralatan, sedangkan impor barang konsumtif seperti buah-buahan malah naik 66,46 peren,” jelas Rusman.
Sementara itu, dosen Komunikasi Bisnis Institut STIAMI Eman Sulaeman Nasim mengatakan, membanjirnya barang-barang impor sangat berbahaya.
Selain dapat mengancam keberlangsungan industri di dalam negeri, membeludaknya barang impor juga mematikan lapangan pekerjaan dan menambah angka pengangguran.
Menurut dia, kemudahan impor sebagaimana ketentuan mengenai post border menjadi salah satu sebab membanjirnya produk impor ke tanah air.
“Karena itu, pemerintah harus berani mengoreksi kebijakan tersebut. Kembalikan saja pada ketentuan lama mengenai larangan terbatas (lartas) barang-barang impor. Pemerintah harus mati-matian melindungi berbagai macam produksi dalam negeri dan mendorong peningkatan ekspor,” kata Eman. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Neraca Dagang Surplus, Pertumbuhan Ekspor Harus Digenjot
Redaktur : Tim Redaksi