jpnn.com - Sejumlah pihak meminta pemerintah Indonesia tidak mengabaikan hasil kajian ilmiah atas produk tembakau alternatif yang menyatakan memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok.
Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR, Ariyo Bimmo, menyatakan prevalensi merokok di Indonesia masih tinggi meski berbagai upaya pengendalian tembakau sudah dilakukan oleh pemerintah.
BACA JUGA: Wabah Covid-19, Para Perokok Perlu Menyimak Penjelasan Ini
Menurutnya, pemerintah belum memilih alternatif memberikan akses bagi perokok untuk beralih ke produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan. Akibatnya prevalensi jumlah perokok di Indonesia masih tinggi.
Banyak perokok yang tidak bisa berhenti dari kebiasaan merokok sehingga mereka perlu diberikan opsi untuk beralih ke produk tembakau yang lebih rendah risiko.
BACA JUGA: Penelitian tentang Rokok Elektrik Perlu Dikaji Lagi
Padahal, sejumlah kajian baik di dalam dan luar negeri membuktikan efektivitas produk tersebut dalam mengurangi jumlah perokok.
“Oleh karena itu, kami memohon pemerintah terbuka dengan hasil kajian ilmiah produk tembakau alternatif. Berbekal landasan kajian ilmiah, pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang mempertimbangkan produk tembakau alternatif sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan rokok di Indonesia yang sudah akut ini,” kata Bimmo di Jakarta.
Hasil kajian ilmiah dari UK Committee on Toxicology (COT), bagian dari Food Standards Agency, menyimpulkan bahwa produk tembakau yang dipanaskan menghasilkan uap yang mengandung zat kimia berbahaya lebih rendah sebesar 50-90 persen jika dibandingkan dengan asap rokok.
Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment) pada 2018 lalu.
Hasil riset itu menyatakan produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80 sampai 90 persen daripada rokok.
Menurut Bimmo, pemerintah juga bisa mendorong kajian ilmiah lokal dengan menggandeng para pemangku kepentingan seperti para ilmuwan dan akademisi di bidang yang terkait.
Dengan begitu, hasilnya akan lebih komprehensif sehingga memperkuat kajian-kajian sebelumnya.
“Hasil kajian ilmiah tersebut nantinya juga dapat menjadi landasan dalam pembuatan regulasi yang khusus mengatur tentang produk tembakau alternatif. Dengan adanya regulasi khusus, kami optimis akan mendorong perokok dewasa untuk beralih ke produk yang lebih rendah risiko ini,” ujar dia.
Sementara itu, mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tikki Pangestu sebelumnya mengatakan penggunaan bukti ilmiah dalam penyusunan kebijakan kesehatan belum menjadi pertimbangan utama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Kajian ilmiah seringkali dikalahkan oleh opini dan nilai-nilai subjektif lainnya. “Bahkan ideologi mengalahkan fakta, kebenaran, dan bukti ilmiah,” kata akademisi dari National University of Singapore tersebut belum lama ini.
Tikki menambahkan kondisi tersebut terjadi karena tiga alasan. Pertama kurangnya bukti ilmiah yang mendalam dan relevan.
Jika ada, jumlahnya terbatas, kurang komprehensif, dan tidak sesuai dengan kebutuhan pembuat kebijakan. Kedua, keterbatasan literasi ilmiah di kalangan para pembuat kebijakan.
Terakhir, bukti ilmiah harus bersaing dengan nilai-nilai lainnya seperti tekanan politik dan keterbatasan sumber daya.
“Kendati penting membedakan pendapat dan fakta, namun yang lebih penting adalah memastikan fakta dipakai untuk membentuk kebijakan yang memperbaiki, bukan hanya kualitas kesehatan, tetapi juga kesetaraan kesehatan, terutama di negara berkembang. Pada akhirnya, semua ini bermuara pada seberapa besar kita menilai pentingnya sebuah penelitian ilmiah,” pungkasnya.
Redaktur & Reporter : Natalia