jpnn.com, JAKARTA - Anggota Dewan Legislatif Parlemen Victoria, Australia Fiona Patten, mengatakan dukungan politik dari pemerintah terhadap penggunaan produk tembakau alternatif memiliki peran yang penting.
“Dukungan politik akan melengkapi berbagai hasil kajian ilmiah mengenai produk tembakau alternatif yang positif. Melalui dukungan tersebut, maka potensi yang dimiliki oleh produk tembakau alternatif dapat dimanfaatkan secara maksimal dan memberikan manfaat secara luas,” ujar Fiona.
BACA JUGA: Produk Tembakau Alternatif Jadi Solusi Turunkan Angka Perokok Dunia
Khusus Indonesia, Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) Ariyo Bimmo, menambahkan dukungan politik yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong inisiasi kajian ilmiah di dalam negeri.
Sebab, Indonesia belum banyak melakukan penelitian terhadap produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik, sehingga publik belum mendapatkan informasi yang komprehensif.
BACA JUGA: Produk Tembakau IQOS Diizinkan Dipasarkan
“Pemerintah bisa mengambil contoh dari Inggris, Korea Selatan, dan Selandia Baru, yang sudah lebih dulu melakukan penelitian,” kata Bimmo.
Dalam mendorong kajian ilmiah, pria yang juga menjabat sebagai pengamat hukum ini menuturkan pemerintah juga harus menggandeng para pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Kementerian Perindustrian, perguruan tinggi, praktisi kesehatan, pelaku usaha, asosiasi, konsumen, serta petani tembakau.
BACA JUGA: Kurangi Jumlah Perokok, Produk Tembakau Alternatif Perlu Dukungan Pemerintah
“Kami menunggu adanya kerja sama pemerintah dan semua stakeholder, karena ini tidak bisa ditanggung sendiri. Dari sini, pemerintah bisa membuat rencana ke depan tentang pengurangan risiko tembakau,” terangnya.
Setelah mendapatkan hasil kajian ilmiah komprehensif, Bimmo meneruskan, langkah politik selanjutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah menerbitkan regulasi khusus produk tembakau alternatif.
“Jadi yang sudah firm ada penelitian dan aturannya yang sudah bagus itu Inggris, Jepang, dan Selandia Baru. Hal ini menjadi perhatian kami, ketika penggunaannya makin banyak tapi regulasinya belum ada,” ucapnya.
Dengan regulasi berbasis penelitian, Bimmo berharap, pengenaan tarif cukai terhadap produk tembakau alternatif juga dapat disesuikan dengan profil risiko dari produk tersebut. Sebab, fungsi cukai adalah untuk mengatur eksternalitas negatif yang timbul dari suatu produk.
Bimmo mengatakan, tarif cukai untuk produk yang masuk dalam kategori Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) ini harusnya lebih rendah karena risikonya juga terbukti lebih rendah dibandingkan rokok.
“Pemerintah dapat melihat dari negara-negara seperti, Inggris, Jepang, dan Selandia Baru, yang sudah menerapkan regulasi yang tepat untuk produk tembakau alternatif. Tarif cukai yang dikenakan untuk produk ini jauh lebih rendah dibandingkan rokok, jadi tidak sebesar 57 persen seperti di Indonesia,” tutur Bimmo.
Bimmo menambahkan produk tembakau alternatif bisa menjadi solusi menurunkan angka perokok suatu negara.
Dia mencontohkan pemerintah Jepang yang secara aktif mengkampanyekan penggunaan produk tembakau alternatif yang terbukti menurunkan prevalensi merokok di negaranya.
Hal ini tentu dapat menjadi contoh baik yang dapat diadopsi oleh pemerintah Indonesia.
Akademisi FISIP Universitas Padjadjaran, Satriya Wibawa, menambahkan regulasi khusus produk tembakau alternatif tersebut nantinya harus mencakup beberapa aspek penting.
Selain aturan cukai yang proporsional, perlu ada peraturan spesifik meliputi tata cara pemasaran, akses informasi yang akurat bagi konsumen, peringatan kesehatan yang harus dibedakan dari rokok, standar produk untuk melindungi konsumen, dan batasan usia pengguna khusus untuk 18 tahun ke atas.
“Regulasi ini akan memberikan perlindungan konsumen sekaligus bagi kelangsungan industri produk tembakau alternatif yang tergolong masih baru dan sebagian besar berskala UMKM. Dengan manfaat yang signifikan bagi upaya pengurangan risiko, dukungan pemerintah harus segera direalisasikan untuk mendorong pembentukan regulasi berbasis kajian ilmiah komprehensif,” tutup Satriya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy