jpnn.com, JAKARTA - Ahli Toksikologi dan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (UNAIR), Shoim Hidayat menjelaskan produk tembakau alternatif memiliki risiko yang lebih rendah ketimbang rokok.
Bahkan, berbagai kajian ilmiah telah menyebutkan bahwa produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik (vape), dan kantong nikotin, dapat membantu perokok dewasa beralih dari kebiasaannya, jika berhenti merokok total sulit untuk dilakukan.
BACA JUGA: Begini Keunggulan Beton SIG Penopang Konstruksi LRT Jabodebek
Hal ini disebabkan produk tembakau alternatif tidak dibakar.
Sementara, pembakaran pada rokok menghasilkan asap yang mengandung berbagai senyawa berbahaya, salah satunya adalah TAR yang bersifat karsinogenik atau bisa menyebabkan kanker.
BACA JUGA: Kenaikan Cukai Rokok Dinilai tak Efektif Menurunkan Angka Perokok
Sedangkan sejumlah produk tembakau alternatif seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik (vape) menerapkan sistem pemanasan dengan suhu terkontrol, sehingga hanya menghasilkan uap atau aerosol, bukan asap seperti pada rokok.
“Berkat sistem pemanasan tersebut, produk tembakau alternatif mampu mengurangi paparan risiko hingga 90-95 persen lebih rendah daripada rokok. Jadi, kalau masih ada yang menilai produk ini sama berbahayanya dengan rokok, itu suatu kekeliruan,” jelas Shoim.
BACA JUGA: Penelitian Produk Tembakau Alternatif Perlu Diperbanyak
Shoim menuturkan bukti produk tembakau alternatif mampu meminimalkan profil risiko tersebut juga dilandasi oleh berbagai hasil kajian ilmiah, salah satunya kajian ilmiah yang dilakukan Public Health England, atau lembaga yang saat ini bernama UK Health Security Agency, pada 2018 yang berjudul Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products 2018.
Selain itu, keberhasilan pemanfaatan produk tembakau alternatif sebagai alat bantu perokok dewasa untuk beralih dari kebiasaannya juga sudah dibuktikan di sejumlah negara maju, seperti Inggris dan Selandia Baru.
Hal ini juga didukung oleh promosi tingkat tinggi oleh otoritas kesehatan di negara tersebut.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada