Perkebunan kopi luwak di Bali tak hanya menghadirkan tanaman kopi, kesempatan untuk mencicipinya serta toko souvenir. Ada sesuatu yang lain, yakni sejumlah musang atau luwak yang dikurung berdesakan dalam kandang.
Musang, atau yang lebih dikenal dengan sebutan luwak, sangat sulit ditemui di alam liar, karena mereka tergolong hewan malam yang cukup pemalu, yang biasanya hidup di pedalaman hutan.
BACA JUGA: Menpora Berharap Olimpiade Pelajar Indonesia Tingkat Dunia Bisa Terlaksana
Luwak di perkebunan kopi Bali bukanlah hewan peliharaan, mereka difungsikan sebagai ‘pabrik kopi’ karena kotoran yang mereka hasilkan.
Ya, kopi luwak adalah kopi yang terbuat dari kotoran musang atau luwak.
BACA JUGA: Pencari Suaka di Darwin Sakiti Diri Sendiri Karena Takut Dikirim ke Nauru
Seekor luwak di perkebunan kopi di Bali sedang duduk di dalam kandang, menunggu kotorannya dipanen.
Dikenal karena rasanya yang lezat, kelangkaannya dan sensasi minum kotoran hewan. Harganya pun cukup mahal.
BACA JUGA: Meski Beban APBN Berat, Pemerintah Australia Janjikan Tak Ada Pajak Baru
Salah satu situs online mematok harga kopi luwak senilai 149 dolar (atau sekitar Rp 1,9 juta) untuk ukuran 100 gram, meskipun lebih murah jika membeli "langsung dari petani" yakni sekitar 20 dolar (atau Rp 250 ribu) per 100 gram.
Sebagai informasi, upah minimum di Indonesia sekitar 130 dolar (atau Rp 1,6 juta) per bulan.
Biji kopi awalnya dipanen oleh para pekerja di perkebunan kopi. Mereka nantinya bertemu dengan kotoran luwak ketika melakukan pekerjaan itu.
Secara alami, luwak mencari buah kopi besar kemerah-merahan yang akan mereka makan, bersama dengan biji di dalamnya.
Para pekerja menyadari bahwa luwak memakan buah kopi terbaik dan tersegar, dan proses pencernaan dalam tubuh luwak berarti bahwa biji kopi yang telah dimakan luwak tampak berbeda dengan biji kopi yang mereka panen.
Para pekerja membersihkan kotoran luwak, dan lantas menggilingnya.
Kopi luwak memiliki cita rasa yang tak biasa dan selama bertahun-tahun, menjadi sangat diminati.
Luwak adalah makhluk luar biasa yang berharga bukan hanya karena kemampuan mereka dalam mencerna biji kopi, tetapi juga karena aroma sekresi dari kelenjar anal mereka.
Setelah diproses, hasil sekresi memiliki aroma ‘musk’ yang digunakan dalam parfum.
Sebagian karena sekresi inilah yang menambah cita rasa kopi luwak, yang terbuat dari kotoran ini.
Kini, ada perdebatan yang terjadi di seluruh dunia tentang etika kopi luwak dan produksi kotoran luwak.
Pria yang mengaku telah memperkenalkan kopi luwak ke Inggris pada tahun 1991, yaitu Tony Wild, kini justru menjadi penentang produk kopi ini.
"Saya menjadi terlibat karena saya pikir, hal itu kejam dan buruk serta merasa bertanggung jawab untuk memulainya," ujar Tony.
Ia mengatakan, di alam liar, luwak hanya sesekali makan biji kopi, dan menyebut bahwa upaya untuk selalu memberi makan luwak buah kopi adalah tindakan yang kejam.
"Saya mengkalkulasi bahwa setiap hari mereka makan buah kopi yang setara dengan 120 cangkir espresso untuk manusia, dan itu tidak mempedulikan perbedaan ukuran," jelasnya.
Ia menguraikan, "Untuk melawan kafein, luwak harus menggunakan kalsium yang berasal dari struktur tulang mereka, dan itu melemahkan mereka, dan menimbulkan malapetaka bagi sistem pencernaan mereka."
Tony, yang kini mengelola laman Facebook ‘Kopi Luwak: Cut the Crap’, telah mendorong adanya penolakan sertifikasi UTZ bagi mereka yang membuat kopi dari luwak yang dikurung dalam sangkar.
UTZ adalah program terbesar di dunia untuk menyatakan bahwa kopi telah dibuat secara ramah lingkungan, termasuk praktek-praktek pertaniannya, kondisi pekerja pertanian dan perawatan terhadap lingkungan hidup.
Luwak di perkebunan kopi Bali sering dimasukkan ke kandang, supaya mereka bisa makan buah, untuk mencegah mereka menjadi sakit karena makan terlalu banyak biji kopi.
Kandang diperlukan karena luwak dipaksa makan buah kopi untuk meningkatkan produksi dan menempatkan mereka di kandang kecil membuatnya proses panen lebih mudah dibanding dengan memanen kotoran luwak secara tradisional.
Tentu saja, konsumsi biji kopi yang dipaksakan berarti kopi luwak sendiri kehilangan sedikit rasa tradisional yang dikaitkan dengan kemampuan luwak memilih buah terbaik untuk konsumsi mereka, tetapi panen kotoran luwak secara tradisional tak praktis bagi pasar kopi.
Dan pasar kopi semakin semakin besar ketika menyangkut kopi luwak.
Kopi luwak sekarang dipanen di Vietnam dan Filipina serta Indonesia, tempat di mana produksi kopi ini dimulai, dan umumnya tersedia di Singapura dan Malaysia.
Fenomena kopi luwak juga menghasilkan industri serupa, dengan kopi burung Jacu di Brazil yang harganya sangat tinggi, serta kopi yang dicerna oleh gajah, yang dilaporkan harus mengkonsumsi biji kopi seberat 33 kilogram untuk membuat satu kilogram kopi yang dipanen dari kotoran mereka.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Peneliti Sapi Australia Ingin Populerkan Jenis Senepol-Brahm