jpnn.com, JAKARTA - Pakar Hukum Internasional Profesor Hikmahanto Juwana menilai sejauh ini tidak ada urgensi revisi PP 109/2012.
Kebijakan ini masih relevan digunakan dalam rangka pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia.
BACA JUGA: Revisi PP 109 Dinilai tak Memenuhi Aspek Penyusunan Kebijakan
“Pembahasan peraturan yang menggunakan Izin Prakarsa sebaiknya hanya terkait hal-hal yang sifatnya sangat mendesak seperti berbagai kebijakan penanganan krisis akibat pandemi COVID-19,” kata Hikmahanto.
Terlebih, dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021, revisi PP 109 Tahun 2021 tidak memenuhi sejumlah hal, seperti pembulatan suara antar K/L dan aspek harmonisasi.
BACA JUGA: Menko Airlangga Ajak Alumni Prakerja di Medan Manfaatkan KUR
Saat membahas sebuah peraturan yang memunculkan implikasi luas terhadap publik, pemerintah seharusnya tidak hanya mempertimbangkan satu aspek saja.
Dalam kasus rencana revisi PP 109/2012, di luar kesehatan, pemerintah semestinya mempertimbangkan aspek lain seperti perburuhan, tenaga kerja, petani tembakau, hingga penerimaan negara.
BACA JUGA: Begini Cara KAI Jaga Aset Demi Kepentingan Negara
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI) ini juga menegaskan isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik.
Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan. PP 109/2012 tidak hanya bicara soal satu dimensi kepentingan namun merupakan titik temu berbagai kepentingan.
Maka itu Kementerian/lembaga terkait harus diikutsertakan agar pembahasan mengenai peraturan perundangan lebih komprehensif.
Selain itu, naskah akademis sebagai dasar revisi harus dibuka ke publik untuk mendapatkan masukan.
“Kementerian Kesehatan harus kita dukung untuk fokus menyelesaikan pandemi dan memperkuat berbagai kebijakannya. Untuk itu sebagai bangsa yang berdaulat penting untuk kita mampu mengambil sikap dan tidak tunduk kepada desakan lembaga asing yang memiliki kepentingan atas revisi PP 109/2012 ini,” tegas Hikmahanto.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah ini juga menyampaikan perspektif kebijakan publik yang baik, penyusunan atau revisi sebuah peraturan pemerintah perlu disusun secara kolaboratif dan partisipatif dari masyarakat.
Dia menilai proses revisi PP 109/2012 tidak memenuhi aspek tersebut, lantaran dilakukan dengan sangat tertutup tanpa adanya keterlibatan publik, maupun pihak-pihak terkait seperti petani, buruh rokok.
“Apa urgensinya melakukan revisi PP 109/2012? Saya juga tidak setuju revisi ini, secara asas penyusunan regulasi ini melanggar aspek transparansi, karena prosesnya sangat tertutup dan tidak melibatkan banyak stakeholders yang terdampak langsung terhadap revisi ini,” katanya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy