Prof Jimly Heran Pak Mahfud Hanya Sebut Fahri Hamzah dan Fadli Zon

Rabu, 12 Agustus 2020 – 13:41 WIB
Anggota DPD RI Prof Jimly Asshiddiqie menanggapi pemberian penghargaan Bintang Mahaputra Nararya untuk Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Postingan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof Mahfud MD soal penganugerahan tanda jasa Bintang Mahaputra Nararya untuk dua politikus kritis, Fahri Hamzah dan Fadli Zon, jadi polemik.

Ada yang tidak suka Presiden Jokowi memberikan penghargaan kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon, yang terlihat dari respons netizen di media sosial.

BACA JUGA: Fahri Hamzah Bikin Polling, Fadli Zon Mungkin Terkejut Lihat Hasilnya

Ada yang mempertanyakan alasannya, hingga menganggapnya sebagai lelucon.

Nah, bagaimana pendapat Prof Jimly Asshiddiqie, mantan wakil ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan (DGTK) selama dua periode (2010-2019) mengenai polemik ini? 

BACA JUGA: Penjelasan Terbaru Mahfud MD Soal Pemberian Penghargaan untuk Fahri dan Fadli

"Ya makanya ditanya Pak Mahfud, kenapa dia hanya tweet itu hanya dua orang. Kan banyak yang dapat. Kenapa yang dia tweet kasih ucapan selamat hanya dua orang itu?" kata Prof Jimly mempertanyakan.

Berikut wawancara lengkap wartawan jpnn.com Fathra Nazrul Islam dengan Prof Jimly Asshiddiqie melalui telepon, Rabu (12/8) siang:

BACA JUGA: Kabar Gembira dari Wapres untuk 17 Ribu PNS yang Kehilangan Jabatan

Terkait penganugerahan tandas jasa untuk Fahri Hamzah dan Fadli Zon menjadi perdebatan di media sosial. Banyak yang tidak suka, Prof?

Tanya Pak Mahfud, karena ketuanya Pak Mahfud, Menko Polhukam.

Tetapi menurut Prof yang pernah di Dewan Gelar, bagaimana pemberian penghargaan itu?

Ya makanya ditanya Pak Mahfud, kenapa dia hanya tweet itu hanya dua orang. Kan banyak yang dapat. Kenapa yang dia tweet kasih ucapan selamat hanya dua orang itu? 

Ditanya saja sama beliau kenapa? Kenapa tidak diumumkan resmi? Kan banyak orang. Jadi ternyata saya pun dapat, tetapi bukan Bintang Mahaputra, karena saya sudah dapat dahulu. Dahulu saya Bintang Mahaputra Adipradana 2009. 

Nah, jadi ada yang (pernah) mengajukan supaya saya diberi Bintang Penegak Demokrasi Utama, tetapi karena saya wakil ketua (Dewan Gelar saat itu), saya drop nama saya. Itu jeruk makan jeruk. 

Sesudah saya pensiun, rupanya hidup lagi itu (diusulkan, red). Maka saya ditetapkan dapat itu (Bintang Penegak Demokrasi Utama) bersama ketua MK, dan mantan Ketua MK Arief Hidayat.

Itu untuk tahun 2020 ini juga Prof? 

Untuk tahun ini. Jadi itu bintang untuk penegak demokrasi. Ada lagi mantan-mantan, seperti Pak Bambang Soesatyo, mantan ketua DPR. Rombongan dia itu. Dari DPD juga begitu. Dapat. Saya enggak tahu (pertimbangannya) saya tidak ikut lagi. 

Jadi yang mendapat ini banyak. Persoalannya kenapa yang di-Tweet cuma dua, sehingga itu menimbulkan kontroversi. Kalau diumumkan bareng dan tidak terlalu menonjol yang dua. 

Sebaiknya tanya kepada Pak Mahfud. Mungkin karena beliau begitu akrab dengan dua orang itu, bagaimana begitu kan. Jadi bukan hanya dua. Kalau diumumkannya ramai, maka kan tidak kelihatan yang dua. Semua tokoh yang dapat itu. Itu saja komentar saya.

Secara umum penilaiannya apa Prof?

Saya tidak tahu. Yang mengajukan lembaga resmi, DPR mengajukan, DPD mengajukan, MPR juga mengajukan. Lalu yang tim menilainya itu bukan saya lagi. Saya enggak tahu.

Pengalaman Prof sebelumnya dalam menilai saat di Dewan Gelar, pertimbangannya apa saja?

Ya, ada tren. Trennya itu adalah di masa Pak Jokowi ada keinginan kuat mempermahal harga bintang itu. Maksudnya, jadi makin diperketat. Ada keinginan begitu.

Nah, kedua, kualifikasinya diturunkan. Misalnya, yang tadinya utama, Bintang Mahaputra Utama, sekarang dijadikan Nararya, begitu. Jadi yang diberikan itu lebih rendah dari sebelum-sebelumnya. Jadi harganya lebih mahal (tidak diobral, red). 

Kemudian, ketiga, itu ada keinginan kuat bahwa orang diberi penghargaan bukan karena jabatan tetapi karena pengabdian. Jadi substansi bukan karena jabatan. Jangan otomatis mantan ketua DPR, mantan ketua ini, ketua ini otomatis dapat, belum tentu. Jadi ya, harus dengan pertimbangan kualifikasi, kualitas dan integritas pengabdian. Begitu. 

Poin keempat supaya tidak konflik kepentingan, selama menjabat belum dinilai dulu. Nanti kalau sudah tidak menjabat baru dikasih. 

Itu antara lain, empat hal itu yang menjadi pegangan dalam menilai dan pemberian (tanda jasa), karena ini adalah penghargaan resmi dari negara. 

Karena itu, yang diberi penghargaan bukan hanya orang karena jabatan. Bisa saja orang tidak punya jabatan.

Misal, Syafi'i Maarif, Romo Magnis Suseno. Itu kan tidak punya jabatan tetapi karena peran dia dalam kehidupan kebangsaan, makanya diberi Bintang Mahaputra. Itu di zaman saya dulu itu. Itu contohnya. 

Jadi Romo Magnis bukan pejabat, begitu juga Syafi'i Maarif bukan pejabat dapat bintang juga. Maka tokoh-tokoh masyarakat, lalu aktivis LSM, itu berhak dapat penghargaan dari negara juga. 

Yang keenam, ada faktor bahwa penghargaan ini tidak hanya untuk orang dalam negeri. Kita juga resiprokal, karena banyak tokoh-tokoh kita dihargai di luar negeri oleh negara lain maka kita juga harus mempertimbangkan memberi penghargaan kepada tokoh-tokoh negara lain. Karena kita harus hadir dalam pergaulan antarnegara.

Soal perdebatan penghargaan untuk Fahri dan Fadli sebaiknya dijelaskan secara gamblang oleh Menko Polhukam ya Prof?

Iya. Itu kan ada pertimbangannya. Tidak perlu hanya gara-gara pro kontra. Itu kan yang diberi penghargaan ini bukan hanya yang pro-pemerintah, yang antipemerintah juga enggak apa-apa. Kenapa mesti yang pro pemerintah saja? 

Ini kan para pendukung pemerintah yang mempersoalkannya. Jangan begitu dong. Kita ini negara.

Yang pro pemerintah itu kan golongan, golongan penguasa namanya. Berarti golongan oposisi tidak berhak untuk dihargai? Salah cara berpikir begitu. Kan tidak begitu dong.

Kalau orang itu kritis kepada pemerintahan apa masalahnya? Ini kan kita bicara sebagai negara, bukan sebagai pemerintahan politik, bukan partai. Jadi jangan dipersempit bernegara itu berpolitik saja, bernegara itu berpartai saja, bernegara itu bergolongan saja.

Bernegara itu bukan hanya lovers tetapi juga haters. Itu kan bagian dari bangsa juga. Begitu. 

Jadi jangan medioker dalam melihat kehidupan kebangsaan kita. Ini kan sudah 75 tahun kita merdeka, masak masih diciutkan cara berpikir kita menjadi mediocrity. Jadi kerdil. Itu tidak boleh begitu.

Ini penting untuk generasi muda. Sikap kritis kepada pemerintah itu satu hal, tetapi pengabdian pada bangsa dan negara kan hal yang lain. 

Dan justru dengan diberinya penghargaan dua tokoh yang kritis itu, malah menunjukkan kenegarawanan dari Presiden Jokowi, itu lho. 

Jadi jangan dianggap gak layak ya Prof?

Lho, tau apa yang menilai (tak layak)? Itu kan timnya Pak Mahfud itu bukan sembarangan. Itu kan tokoh-tokoh semua. Lalu yang mengajukan lembaga resmi. Jangan begitu dong. 

Jadi, bernegara itu bersama, berbangsa itu membangun kebersamaan. Jadi ini mengingatkan, jangan feodal gara-gara, penguasa pikirannya A, maka semua harus berpikir A. Tidak. 

Keseimbangan ini penting untuk demokrasi. Demokrasi tanpa check and balances, social check and balances, itu bukan demokrasi, itu namanya totalitarianisme. Jadi biar saja orang berbeda pendapat itu sepanjang dia menyumbang untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, ya layak dikasih penghargaan. Why not?. (fat/jpnn)

 

 

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler