jpnn.com, JAKARTA - Hakim dituntut menemukan seni pendekatan dalam melihat sebuah perkara terutama pada kasus hukum yang menyangkut manusia dengan berbagai latar belakang dan persoalannya.
Hal itu disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Topo Santoso, SH, MH, PhD menanggapi ide dan gagasan heuristika hukum dari Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin.
Topo mengatakan konsep heuristika hukum menarik untuk didiskusikan. Menurut dia, heuristika hukum bisa menjadi seni untuk menemukan pendekatan baru.
Seni untuk menemukan jalan keluar baru, dalam proses peradilan. Dia mengatakan, sebuah kasus merupakan problematika yang perlu ditemukan jalan keluarnya.
BACA JUGA: HNW: SKB 3 Menteri Tidak Sesuai Prinsip Hukum dan Layak Dikoreksi
"Jadi kita tidak bisa menggeneralisasi, tidak semua kasus sama. Sebab, tersangkanya, korbannya, itu beda-beda," kata Prof. Topo.
Dalam menangani perkara, hakim dihadapkan pada dua tahap pekerjaan. Pertama, ketika hakim mau memutuskan perkara itu benar atau salah, terbukti atau tidak, pasti berdasarkan analisis terhadap barang bukti, keterangan terdakwa, keterangan ahli, sampai pada keyakinan sang hakim.
BACA JUGA: Ini Kata Pakar Hukum soal Habib Rizieq dan ISIS
Kedua, kalau dari analisa tersebut ternyata terbukti dan terdakwa dinyatakan bersalah, sang hakim masih ada tugas berikutnya, yaitu menentukan masa hukuman.
Dalam KUHP yang disebutkan hanya maksimum hukuman. Kisaran hukuman bisa dimulai dari satu hari sampai, tujuh tahun, sepuluh tahun, dan seterusnya. Akhirnya, seringkali putusan hakim menjadi pertanyaan publik.
Karena itu, penting bagi seorang hakim mempertimbangkan banyak variabel dalam mengambil keputusan.
"Artinya, posisi seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara hukum bukan hanya mengandalkan analisis saja, tetapi juga melibatkan nurani, melibatkan kontemplasi, dia harus merenungkan apakah putusannya itu adil atau tidak, proporsional atau tidak."
"Ini membutuhkan seni untuk memutuskan. Oleh karena itu, pidato Prof. Syarifuddin tentang heuristika hukum, menurut saya sangat bagus untuk saat ini dan bisa menjadi pedoman dan acuan bagi para hakim," kata Prof. Topo.
Heuristika hukum adalah buah dari pemikiran Ketua Mahkamah Agung. Selama kurang lebih 35 tahun menjalankan tugas sebagai hakim, dia menyadari ada problematika klasik dalam penegakan hukum korupsi yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas, tidak saja dalam dunia akademis, melainkan juga dalam dunia praktik.
Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari ketentuan hukum normatif dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan ruang yang sangat lebar bagi penegak hukum, termasuk para hakim, untuk menentukan besaran dan lamanya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Akibatnya, penegakan hukum korupsi di Indonesia terkadang sangat kaku dan kurang memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak akibat penjatuhan sanksi pidana oleh hakim di pengadilan.
Ketua Mahkamah Agung menuangkan konsep heuristika hukum dalam pidatonya saat pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. (flo/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Natalia