Program Kartu Prakerja Berindikasi Konspiratif

Oleh: Anton Doni Dihen

Jumat, 08 Mei 2020 – 13:25 WIB
Anton Doni. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Kerangka kerja Program Kartu Prakerja sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja melalui Program Kartu Prakerja, dan model penerapan aktualnya di tengah musim pandemi Covid-19 memperlihatkan indikasi-indikasi konspirasi yang patut diwaspadai.

Pertama, berkaitan dengan pembentukan Perpres Kartu Prakerja Nomor 36 Tahun 2020. Harus dikatakan bahwa desain dasar Perpres ini sangat konspiratif berkaitan dengan beberapa indikasi.

BACA JUGA: 7 Alasan Mengapa Kartu Prakerja Koruptif

Indikasi pertama, dominasi Kemenko Perekonomian dan inferioritas Posisi Kemnaker. Perpres 36 Tahun 2020 menggeser secara signifikan posisi Kementerian Ketenagakerjaan yang selama ini memiliki kompetensi dan otoritas kebijakan bidang ketenagakerjaan.

Selanjutnya, Perpres ini ditahan menjadi urusan Kemenko Perekonomian, sampai Menko Perekonomian harus menjabat sebagai Ketua Komite Cipta Kerja yang ditugasi untuk menyelenggarakan Program Kartu Prakerja ini, dengan berbagai kewenangan ketenagakerjaan.

BACA JUGA: Perlu Skema Bantuan untuk Klaster Mahasiswa Terdampak Covid-19

Sementara Wakil Ketua Komite dijabat oleh Kepala Staf Kepresidenan, yang entah secara pribadi atau secara lembaga mempunyai kompetensi kebijakan di bidang ketenagakerjaan.

Perampasan “tupoksi” ini berimplikasi pada lemahnya pertimbangan strategis ketenagakerjaan dan miskinnya desain Kartu Prakerja, sehingga kartu ini dibiarkan begitu saja untuk menguntungkan vendor pelatihan online dan platform digital yang ditentukan begitu saja. Oleh karena itu, susunan komite ini harus dilihat oleh pihak yang berkompetensi dalam pengawasan sebagai sesuatu yang indikatif.

BACA JUGA: Bela Kartu Prakerja di Paripurna DPR RI, Misbakhun Kenang Rapat Bareng Jokowi

Indikasi kedua, keterkaitan Staf Khusus Presiden dan superioritas Pelatihan Daring dan Platform Digital dalam desain Kartu Prakerja. Regulasi Kartu Prakerja, khususnya berkaitan dengan pelatihan, sangat bias pelatihan daring.

Walaupun sempat disebut pelatihan luring (luar jaringan) sebagai salah satu dari dua jenis pelatihan dalam program Kartu Prakerja sebagaimana dinyatakan pada Pasal 5 ayat 3, Perpres hanya mengelaborasi pelatihan yang berkaitan dengan pelatihan daring (dalam jaringan).

Tentu bias ini juga perlu mendapat perhatian, apalagi dikaitkan dengan fakta bahwa salah seorang staf khusus Presiden (yang sekarang sudah mengundurkan diri) yang berada di sekitaran Istana pada saat Perpres ini ditetapkan memiliki juga platform digital yang ditunjuk untuk kerja sama penyelenggaraan pelatihan daring.

Indikasi ketiga, keberadaan Manajemen Pelaksana dalam kaitan dengan Kompetensi Kebijakan Bidang Ketenagakerjaan. Tidak hanya Komite yang dipertanyakan kompetensi kebijakannya di bidang ketenagakerjaan. Manajemen pelaksana pun harus dicermati kompetensinya di bidang kebijakan ketenagakerjaan.

Manajemen pelaksana ini pun mengambil sejumlah “tupoksi” ketenagakerjaan yang ada dalam struktur Kementerian Tenaga Kerja, seperti akreditasi lembaga pelatihan kerja dan pengakuan kompetensi berbentuk sertifikat pasca pelatihan kerja.

Tentu saja koordinasi pengambilan dan penyelarasan data terkait lembaga pelatihan bisa dilakukan, tetapi rumusan kebijakan yang “menggampangkan” urusan kelembagaan pelatihan, program pelatihan, dan sertifikasi menghadirkan kesan kesemberonoan dan niat untuk segera memobilitasi intensitas lalu lintas di dunia platform digital yang akan memberikan keuntungan kepada para pihak yang berkepentingan.

Kesembronoan seperti ini tentu meniadakan sejumlah pertimbangan strategis yang semestinya menuntun program besar peningkatan kompetensi sumber daya manusia Indonesia.

Indikasi keempat, fakta tantangan besar di satu sisi dan pendekatan yang terlalu instan. Di hadapan kita sebetulnya terbentang tantangan yang teramat besar, dan karena itu langkah yang diambil dalam rangka pengembangan kompetensi sumber daya manusia seharusnya terkelola dengan lebih baik di bawah tuntunan pertimbangan-pertimbangan strategis.

Angkatan kerja kita berjumlah cukup besar, dengan struktur kependidikan angkatan kerja yang sangat menantang. Pengangguran kita juga tidak sedikit, dengan struktur kependidikan yang tidak kurang menantang. Persoalan yang sama dapat kita lihat juga pada struktur angkatan kerja yang bekerja.

Singkat kata, angkatan kerja kita sangat bervariasi dan menantang dalam hal tingkat pendidikan, dan karena itu suatu program nasional pengembangan kompetensi kerja harus dihindari dari kecenderungan menyeragamkan dan menggampangkan. Sebaliknya, program nasional tersebut harus mempertimbangkan dan padu dengan kenyataan yang kompleks ini. Terkait penggunaan medium saja, misalnya, penggunaan medium pelatihan yang bias saja sudah menghadirkan diskriminasi dan menggores rasa keadilan masyarakat.

Angkatan kerja kita juga mempunyai orientasi yang beragam dan tersebar di berbagai sektor. Ada yang berorientasi kewirausahaan, baik atas dasar pilihan maupun keterpaksaan situasi, dengan pilihan jenis usaha yang sangat bervariasi, dan modal kompetensi awal (aktual) yang sangat bervariasi.

Ada juga yang berorientasi mencari kerja, di sektor yang beraneka, dengan modal kompetensi awal (aktual) yang berbeda, dan sektor atau industri yang disasar pun mempunyai besaran peluang yang berbeda dan standar kompetensi yang berbeda. Tentu saja semua kompleksitas ini harus disederhanakan, tetapi penyederhanaan tersebut tidak boleh berlebihan.

Desain dasar Kartu Prakerja sebagaimana terlihat dalam Perpres 39/2020 memperlihatkan penyederhanaan berlebihan. Tidak ada pertimbangan ketepatan, kestrategisan, dan keadilan dalam kaitan dengan persoalan yang mau dijawab dan tantangan yang menghadang.

Desain ini memberikan ruang bagi program pelatihan apa saja; dengan durasi berapa saja; tidak peduli dengan unit kompetensi apa saja dan berapa saja, serta untuk kualifikasi apa saja; tidak peduli dengan tingkat keluasan dan kedalaman kompetensi; tidak peduli kelengkapan aspek kompetensi (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap); untuk memenuhi kebutuhan industri apa saja. Apakah Manajemen Pelaksana dapat menjawab persoalan-persoalan tersebut, tentu saja tidak. Jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut semestinya sudah kelihatan di desain dasar yang tertuang dalam Perpres 36/2020.

Desain dasar seharusnya sudah memuat arahan-arahan strategis yang jelas, berangkat dari training needs analysis makro yang cermat, dan dengan struktur alokasi sumber daya yang jelas dengan memperhitungkan kepentingan-kepentingan strategis dan rasa keadilan masyarakat.

Kedua, indikasi konspiratif selanjutnya berkaitan dengan pemaksaan keberlakuan Perpres Kartu Prakerja dalam situasi pandemi Covid-19.

Sebagaimana telah kami sampaikan dalam tulisan kami mengenai “7 Alasan Mengapa Kartu Prakerja Koruptif”, komponen pelatihan dalam Kartu Prakerja bukan sesuatu yang dibutuhkan dan bukan sesuatu yang urgen dalam musim pandemi Covid-19.

Memaksakan diri untuk melihatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan sesuatu yang urgen merupakan bentuk kegilaan, dan “ketegaran” untuk memaksakan diri ini memperlihatkan sesuatu yang indikatif. Juga alasan bahwa ia harus diberlakukan karena kehendak untuk mempertahankan desain aslinya, adalah alasan yang tidak masuk akal.

Desain asli adalah sesuatu yang jelas tertulis dalam Perpres 36/2020 yang tidak hilang, dan sebagaimana kami argumentasikan di atas, desain asli tersebut terlalu menyederhanakan urusan peningkatan kompetensi. Ada baiknya waktu yang ada digunakan dulu untuk menyempurnakan desain kartu prakerja, dan dana yang ada digunakan dulu untuk penanganan keadaan darurat pandemi Covid-19.

Waktu yang ada sebaiknya digunakan untuk melakukan pemetaan kebutuhan (training needs analysis makro) dengan lebih baik. Pemetaan ini dilakukan di aras daerah dan aras industri, dengan melibatkan pemangku kepentingan terdekat (Pemda dan asosiasi industri), dan dengan memperhatikan lingkungan strategis yang dihadapi tiap-tiap industri dan daerah.

Semenjak debut perkembangan industri 4.0 bergema, kita belum melakukan pemetaan bersama yang serius, yang berujung pada perumusan bersama mengenai kebutuhan-kebutuhan kompetensi strategis kita untuk kemudian di-deploy ke lembaga pendidikan maupun lembaga pelatihan kerja. Maka kesempatan yang ada dapat kita gunakan untuk melakukan hal tersebut untuk menyempurnakan desain Kartu Prakerja.

Sekali lagi, pemaksaan jalan instan untuk memberlakukan kartu ini mengindikasikan sesuatu yang perlu kita lihat dan refleksikan bersama.***

 

Penulis adalah Ketua Kelompok Studi Aquinas dan Ketua Presidium PP PMKRI 1994-1996


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler