Perlu Skema Bantuan untuk Klaster Mahasiswa Terdampak Covid-19

Oleh: Anton Doni Dihen (Ketua Kelompok Studi Aquinas sekaligus Ketua Presidium PP PMKRI 1994-1996

Minggu, 03 Mei 2020 – 08:25 WIB
Ketua Kelompok Studi Aquinas dan Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 1994-1996, Anton Doni Dihen. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Mahasiswa adalah salah satu klaster terdampak pandemi Covid-19 yang belum ditangani secara serius. Belum ada skema bantuan yang secara jelas ditujukan kepada mereka. Pemerintah diharapkan tidak tutup mata terhadap klaster terdampak yang kasat mata ini.

Skema bantuan sembako di perkotaan Jabodetabek yang menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) belum jelas apakah dapat menjangkau klaster mahasiswa terdampak yang merupakan mahasiswa perantauan yang macet aliran dananya. Ketiadaan dukungan administrasi karena sebagian besar tidak memiliki KTP Jabodetabek merupakan kelemahan mereka dalam mengakses bantuan sosial yang ada.

BACA JUGA: Garda NTT Buka Posko Untuk Bantu Mahasiswa Terdampak Covid-19

Oleh karena itu, kalau perhatian terhadap klaster terdampak ini harus dilakukan melalui bantuan sembako, maka perlu ada kebijakan afirmatif dari Pemda Jakarta atau Jabodetabek maupun Pemerintah Pusat untuk melonggarkan persyaratan administrasi untuk mahasiswa perantauan. Tujuannya agar tahapan bantuan sosial berikutnya dapat diakses dan perlu ada sosialisasi yang jelas agar mereka dapat mengakses bantuan ini.

Alternatif kedua adalah melalui jalan BLT Dana Desa. Saya sudah berkirim surat kepada Menteri Desa, dan melakukan komunikasi WhatsApp panjang dengan Sekretaris Jenderal Kementerian Desa. Namun demikian terkendala dengan definisi konvensional mereka tentang kewargaan desa dan regulasi bantuan yang ditujukan kepada keluarga miskin.

BACA JUGA: Kelompok Studi Aquinas Berharap Pemerintah Berempati Kepada Mahasiswa Terdampak Covid-19

Saya mengatakan bahwa kewargaan desa haruslah dipahami lebih dari batasan kependudukan. Dan kalau kita lihat jiwa Undang-Undang Desa yang baru, warga Desa tidak harus sekadar dipahami sebagai mereka yang tinggal di Desa dan ber-KTP desa yang bersangkutan.

Warga desa juga mencakup mereka yang merantau, dan anak-anak desa yang merantau untuk urusan pendidikan. Jika konsep itu terlalu longgar, maka ia wajar diperketat dengan batasan administrasi kependudukan di masa normal. Tetapi di tengah masa sulit, konsep kewargaan yang longgar yang sebetulnya tepat untuk keadaan desa tradisional kita dapat diterapkan.

BACA JUGA: Anton Doni Dorong Penerapan Standar Tinggi Sistem Pendidikan

Saya juga mengatakan bahwa Pemerintah perlu melihat fakta keadaan desa secara lebih cermat dan dengan kesadaran akan keberagaman. Keluarga miskin di desa tidak hanya mereka yang bertahan hidup di desa.

Dalam kasus sejumlah daerah di NTT, keluarga miskin di sana keluar dari desa dan merantau mencari pekerjaan dan penghasilan di luar desa. Keluarga miskin, bahkan termiskin itu, yang merantau di luar desa dan di luar negeri.

Kemudian mau menyelamatkan masa depan mereka dengan menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Karena itu adalah salah jika Pemerintah melihat bahwa anak-anak yang kuliah di kota besar adalah mereka yang bukan berasal dari keluarga miskin di desa.

Karena itu jika kategori keluarga miskin yang berhak menerima BLT Dana Desa dapat didefinisikan sedemikian rupa untuk menjangkau keluarga miskin di desa yang sedang merantau ke luar negeri dan atau anak-anak desa yang sedang merantau kuliah dan mengalami kesulitan hidup, maka BLT Dana Desa dapat merupakan jalur pengaman sosial yang dapat diandalkan.

Sekali lagi saya mau menegaskan bahwa seharusnya Desa merupakan jalur pengaman sosial paling efektif dan terkelola untuk mahasiswa perantauan yang terdampak pandemi Covid 19. Karena di desa dapat dilihat mana mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin dan mana yang bukan. Mana mahasiswa dengan orang tua atau anggota keluarga penopang pendidikan mereka di perantauan yang sedang jatuh miskin karena PHK atau diistirahatkan sementara dan mana yang tidak.

Semuanya dapat diklarifikasi melalui mekanisme musyawarah desa. Pemerintah tingkat atas seperti Pemda atau Kementerian Desa dapat memfasilitasi kebijakan dengan tujuan ini. Dan kalau Pemda dan Kemendes sedang mati gaya tanpa kreativitas kebijakan, maka Presiden perlu turun tangan untuk mendorong adanya perhatian ke sana. Sektor terdampak mahasiswa perantauan tidak boleh diabaikan.

Alternatif ketiga, yang minimalis, adalah bantuan Pemda. Sejauh ini sudah ada beberapa Pemda, baik Pemda provinsi maupun Pemda kabupaten yang mengambil langkah belas kasih. Langkah itu ada yang sudah direalisasi dan ada yang baru sebatas dijanjikan. Tentu ada prinsip kehati-hatian di sana. Tetapi sekaligus harus dikatakan bahwa prinsip kehati-hatian berlebihan sampai terlalu lama menunda dan bahkan meniadakan bantuan adalah sesuatu yang tidak wajar. Jumlah bantuan itu tidak besar.

Dalam kasus NTT, kemungkinan mahasiswa perantauan yang mengalami kesulitan finansial di musim pandemi ini per kabupaten tidak sampai 1000 orang. Jika satu orang mahasiswa dapat didukung dengan Rp 200.000 per bulan, maka anggaran untuk urusan ini tidak besar. Kebanyakan kabupaten jumlah mahasiswa terdampak mungkin jauh di bawah angka 1.000 orang. Karena itu, dukungan anggaran selama 3 bulan saja masih jauh di bawah angka Rp 1 miliar.

Garda NTT

Dalam kasus mahasiswa NTT, harus dikatakan bahwa kita sedang berterima kasih kepada Kementerian Sosial yang mungkin akan memberikan bantuan sembako untuk mahasiswa se-Jabodetabek. Bantuan ini tentu didukung oleh kerja para relawan Garda NTT yang menyampaikan permohonan dengan dukungan data yang kuat.

Garda NTT bahkan sudah berjalan dengan sejumlah usaha dan penyaluran bantuan melalui usaha-usaha mandiri mereka. Dan ini merupakan kredibilitas yang tidak boleh dianggap enteng.

Garda NTT Peduli Covdi-19 memberi bantuan kepada mahasiswa asal NTT di wilayah Jabodetabek. Foto: Dok. Garda NTT

Mahasiswa dari sejumlah daerah semacam NTT memang patut mendapat perhatian khusus. Data makro tentang kemiskinan dan tingkat pendapatan daerah sudah bisa dijadikan pegangan. Jika Papua dan Papua Barat sebagai provinsi termiskin pertama dan kedua memiliki dana otonomi khusus dan dengan peredaran uang di lingkungan mahasiswa yang lebih baik, NTT sebagai provinsi termiskin ketiga tidak memiliki keistimewaan tersebut. Dan karena itu memiliki kerentanan tertinggi.

Musim pandemi Covid 19 adalah momentum solidaritas. Yang harus diungkapkan dalam kebijakan yang empatetik. Kebijakan yang berangkat dari pemahaman yang cermat atas keadaan-keadaan nyata di lapangan, yang mungkin berbeda antar daerah, yang mungkin tidak terlihat dari bacaan sepintas kita terhadap angka-angka statistik. Mata hati dan mata ilmu pengetahuan lain di luar statistik dapat membantu kita melihatnya.(***)

Penulis Anton Doni Dihen adalah Ketua Kelompok Studi Aquinas sekaligus Ketua Presidium PP PMKRI 1994-1996, Tokoh NTT.


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler