Proporsional Tertutup

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Ketua DPD RI

Jumat, 17 Februari 2023 – 10:58 WIB
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Foto: Dokumentasi Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Dua hari yang lalu, saya mendapat pesan WhatsApp (WA) dari wartawan salah satu media nasional di Jakarta.

Dia bertanya, apakah saya setuju Pemilu Legislatif dengan sistem proporsional tertutup?

Pertanyaan singkat. To the point.

BACA JUGA: Soal Pemilu Proporsional Tertutup, Partai Garuda: Tunggu Saja Putusan MK

Seolah saya hanya punya jawaban: setuju dan tidak setuju. Setuju karena apa? Jika tidak setuju karena apa?

Tentu saya tidak akan jawab dengan singkat, seperti itu.

Saya harus menjelaskan dengan utuh, karena soal ini menjadi diskursus publik yang kuat.

BACA JUGA: Begini Kata Sekjen PDIP Soal Sikap Pemerintah yang Condong Dukung Proporsional Terbuka

Apalagi banyak kalangan muda, aktivis dan pegiat medsos yang membicarakan soal ini.

Memang sekilas lebih banyak yang kontra sistem proporsional tertutup.

Ada yang menyebut kemunduran demokrasi. Bahkan ada yang bilang anti demokrasi.

Bagi saya, terbuka atau tertutup adalah pilihan saja. Setiap pilihan tersebut sama-sama bisa ideal.

Sama-sama juga bisa tidak ideal, karena yang harus kita uji adalah variable ikutannya.

Proporsional terbuka secara ideal harus diikuti dengan variable independensi anggota dewan terpilih, baik itu anggota DPR maupun DPRD.

Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ancaman re-call atau PAW, apabila tidak sejalan dengan ‘kebijakan’ partai politik.

Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ‘satu suara’ fraksi dalam menyikapi kebijakan pemerintah.

Anggota DPR yang terpilih melalui sistem proporsional terbuka harus bebas dari ‘arahan’ ketua umum atas pilihan sikapnya.

Mengapa batu uji variable tersebut penting?

Sebab, sistem proporsional terbuka itu memberi ruang kepada calon legislatif di masing-masing daerah pemilihan untuk mengikat janji atau membangun komitmen dengan para pemilihnya.

Komitmen untuk memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi pemilihnya.

Bahkan dalam beberapa kasus, seorang caleg menandatangani pakta janji dengan pemilihnya.

Lalu apakah ini bisa terjadi?

Bila faktanya di dalam Undang-Undang MD3 dan Undang-Undang Partai Politik masih menempatkan posisi fraksi dan partai yang sangat hegemonik terhadap anggota DPR.

Apakah bisa terjadi ketika dalam menyikapi kebijakan pemerintah masih ada ‘satu suara’ fraksi?

Apakah bisa terjadi ketika dalam menyikapi kebijakan pemerintah masih ada ‘arahan’ Ketua Umum Partai?

Tentu sulit diwujudkan sehingga sistem proporsional terbuka yang tidak dikuti dengan idealisasi variable ikutan, pasti tidak ideal.

Bahkan sistem proporsional terbuka memberi peluang kepada bukan kader utama partai untuk melenggang ke Senayan.

Sebab, batu ujinya adalah popularitas yang berbanding lurus dengan elektabilitas.

Akibatnya bisa terjadi the wrong man in the wrong place atau kita menyerahkan persoalan negara dan politik kepada bukan ahlinya.

Bahkan mungkin saja mereka yang terpilih ‘belum’ utuh memahami platform perjuangan partainya.

Pasalnya, memang dia bukan aktivis partai tersebut. Baru beberapa bulan memakai jaket partai.

Hanya lantaran sangat dikenal oleh publik sehingga terpilih.

Ibarat seorang pebalap Formula 1 kelas dunia yang hebat, belum tentu mampu menerbangkan jet tempur.

Sebaliknya, sistem proporsional tertutup secara ideal akan memberikan tempat bagi kader terbaik partai untuk diberangkatkan ke gedung dewan.

Mereka yang selama ini bekerja keras membangun partai, mengikuti proses pengkaderan, berkeringat, akan mendapat prioritas.

Meskipun mungkin tidak populer atau tidak punya kemampuan finansial untuk meraup suara dalam sistem proporsional terbuka.

Harapannya akan terjadi the right man in the right place sehingga persoalan politik dan negara di gedung dewan akan dibahas oleh mereka yang selama ini memang aktivis partai.

Mereka memang akan memperjuangkan platform partainya untuk mewarnai kebijakan negara ini. Melalui perjuangan legislasi mereka di Senayan.

Konsekuensinya, para anggota dewan ini memang benar-benar representasi partai politik sehingga sejatinya memang bukan wakil rakyat di dapil-dapil lagi.

Sebab, rakyat memang memilih partai yang mereka sukai atau memilih platform perjuangan partai yang mereka anggap sesuai dengan keinginan mereka.

Sehingga pakta janji atau komitmen dibangun antara rakyat dengan partai. Bukan rakyat dengan caleg.

Jika saya diminta pendapat tentang pilihan mana: terbuka atau tertutup, sudah terjelaskan.

Sistem terbuka mutlak harus diikuti variabel ikutan yang ideal tadi.

Jika faktanya tidak, saya lebih memilih proporsional tertutup. (***)


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler