jpnn.com - jpnn.com - Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melarang warga muslim dari tujuh negara masuk wilayah AS alias Muslim Ban menuai protes yang terus meluas.
Namun, Trump bergeming. Kemarin pagi (30/1) lewat Twitter penguasa Gedung Putih itu menyatakan mempertahankan kebijakannya tersebut.
BACA JUGA: Begini Reaksi Jokowi atas Kebijakan Imigrasi Trump
Sekali lagi, dia menegaskan kebijakan itu ditujukan untuk keselamatan rakyat AS.
’’Ini bukan tentang agama. Ini tentang teror dan cara mengamankan negeri ini,’’ tegas taipan 70 tahun itu secara tertulis.
BACA JUGA: Iran Balas Serangan Kebijakan Imigrasi Trump
Trump menyebut media sebagai pihak yang paling layak disalahkan atas timbulnya kekacauan di hampir seluruh negeri akibat kebijakannya tersebut.
Lagi-lagi, dia menuding media salah mengutip perkataannya. Dia juga menyebut media tidak bisa memahami maksud kalimatnya.
BACA JUGA: Kemenlu Keluarkan Imbauan buat WNI di AS
Trump menegaskan, moratorium visa tidak akan berlangsung selamanya. Aturan temporer itu menyebutkan bahwa moratorium penerbitan visa akan langsung dicabut begitu pemerintah berhasil merumuskan kebijakan keamanan yang paling tepat bagi warga AS.
Dalam regulasi yang dia teken pada Jumat (27/1) tersebut, tertulis bahwa Washington tidak akan menerbitkan visa selama 90 hari.
Dalam cuitannya, Trump menyatakan, kebijakan baru imigrasi tersebut bukanlah Muslim Ban seperti yang ditulis media belakangan ini.
Karena itu, dia memilih mengabaikan sekitar 40 unjuk rasa yang terjadi di Negeri Paman Sam sejak Minggu (29/1) hingga kemarin. Dia juga tidak menghiraukan gugatan para jaksa atau pengacara terkait dengan kebijakan imigrasinya.
Kemarin 16 jaksa agung negara bagian kompak menyebut kebijakan imigrasi Trump sebagai regulasi yang melanggar konstitusi.
Pada hari yang sama, sedikitnya empat hakim federal melawan Trump dengan menunda penerapan kebijakan tersebut.
Mereka bahkan menunda deportasi kaum pendatang dan imigran dari tujuh negara dalam blacklist Trump. Asalkan, mereka punya visa AS.
Lewat dekritnya, pengganti Barack Obama tersebut melarang warga Syria, Iraq, Iran, Libya, Somalia, Sudan, dan Yaman masuk AS.
Bahkan, mereka yang punya visa resmi maupun green card alias kartu identitas penduduk tetap juga terdampak. Akibatnya, kekacauan terjadi di bandara yang menjadi akses utama keluar masuknya warga asing.
Sejak Jumat lalu, aktivitas di seluruh bandara AS meningkat. Para petugas mencegat penumpang di terminal kedatangan internasional dan menahan warga dari tujuh negara tersebut.
Kesibukan di bandara-bandara mancanegara pun meningkat. Sebab, mereka harus mencegah penumpang dari ketujuh negara naik pesawat tujuan AS. Mereka yang terdeteksi hendak masuk AS pun terpaksa dipulangkan ke negeri asal.
Dampak kebijakan Trump itu memantik unjuk rasa berkepanjangan di beberapa bandara besar AS. Hingga kemarin, massa masih berdemonstrasi di bandara.
Di beberapa bandara yang diketahui menahan warga dari negara-negara blacklist, bukan hanya warga sipil yang berunjuk rasa.
Para pengacara pun turun tangan. Mereka sengaja bersiaga di bandara untuk memberikan pendampingan hukum bagi mereka yang ditahan.
’’Menjadi bagian dari dunia, tapi mengatakan kepada orang lain bahwa dia tidak kita terima di negeri ini, atau memberitahukan kepada orang lain bahwa dia adalah musuh kita, merupakan cara yang efektif untuk memulai permusuhan. Orang Amerika tidak melakukan yang seperti itu,’’ ujar Tal Zlotnitsky, ahli teknologi yang memiliki kewarganegaraan ganda, AS dan Israel.
Tentang kekacauan dan bahkan kekerasan yang pecah di AS akibat kebijakannya, Trump santai. Dia tidak merasa bersalah.
Sebaliknya, dia ganti menyalahkan pihak lain. Selain media, Trump menyalahkan dua senator Partai Republik, yakni John McCain dan Lindsey Graham.
’’Mereka terlalu lunak soal imigrasi. Sepertinya, mereka ingin memantik Perang Dunia III,’’ tegas Trump.
Pemilik Trump Tower itu kesal kepada McCain dan Graham karena dua politikus senior tersebut mengkritik kebijakannya.
Lewat akun Twitter resminya, Graham menyamakan kebijakan baru imigrasi AS itu dengan kebijakan antimuslim alias Muslim Ban.
’’Kami khawatir kebijakan ini justru akan membuat terorisme tumbuh subur,’’ terang McCain seperti dilansir CNN.
Seperti McCain, para pakar keamanan dan pakar antiteror dunia menyayangkan kebijakan imigrasi superketat Trump tersebut. ’’Jika tak mau menerbitkan visa bagi teroris, mereka juga harus menerapkan hal yang sama terhadap Arab Saudi dan negara lain yang terlibat 9/11 (tragedi 11 September 2001, Red),’’ kata Hossein Naqavi Hosseini dari Iran.
Trump memang tidak memasukkan Saudi dalam daftar hitam. Padahal, para teroris 9/11 berasal dari negara Islam tersebut. Mesir yang menyumbangkan teroris AS juga lolos dari blacklist.
Konon, itu dilakukan karena Trump punya kepentingan bisnis di dua negara tersebut. Presiden ke-45 AS itu memang menerapkan perkecualian bagi negara-negara yang dianggap menguntungkan AS.
Setelah Iran, kini Iraq pun segera membalas kebijakan Trump. Kemarin parlemen Iraq meminta pemerintah menerapkan kebijakan imigrasi khusus kepada warga AS.
Caranya, mengusir seluruh warga AS di Iraq dan melarang warga AS berkunjung ke Iraq. Namun, pemerintah belum memberikan jawaban.
Pada hari yang sama, petisi anti-Trump di Inggris menuai dukungan lebih dari sejuta orang.
Mereka membubuhkan tanda tangan di petisi yang berisi desakan kepada London untuk menolak kedatangan Trump yang sudah dijadwalkan dalam waktu dekat.
Kemarin Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga mengecam kebijakan Trump yang dianggap membuat dunia semakin tidak aman tersebut. (AFP/Reuters/BBC/CNN/hep/c5/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 187 Staf Google Kena Dampak Aturan Imigrasi Trump
Redaktur : Tim Redaksi