jpnn.com - BERMULA dari tahun 1514, sebuah ekspedisi militer Portugis menelusuri sungai-sungai di kawasan Indonesia barat. Tujuan pelayaran mereka untuk mencari kerajaan-kerajaan yang diyakini menguasai sumber daya alam yang begitu kaya sekaligus melakukan ekspansi daerah jajahan. Hingga akhirnya kawasan ini dikenal dalam bahasa Portugis dengan kata Rio yang berarti sungai. Inilah yang menjadi muasal kata Riau secara etimologi.
Kisah lain diceritakan pula bahwa pada awal abad ke 16, Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental mencatat bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatera antara Arcat (Aru dan Rokan) hingga Jambi banyak menjadi pelabuhan para raja-raja yang kemudian mendirikan kampung-kampung pedagang di sepanjang Sungai Siak, Kampar, Rokan, dan Indragiri. Satu dari sekian banyak kampung yang terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi kota Pekanbaru.
Pada masa kejayaan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang didirikan oleh Raja Kecil, kawasan ini merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Siak. Sementara Riau dirujuk hanya kepada wilayah Yang Dipertuan Muda (raja bawahan Johor) di Pulau Penyengat, kemudian menjadi wilayah Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang berkedudukan di Tanjung Pinang, dan Riouw, yang kemudian dieja oleh masyarakat setempat menjadi Riau.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Residentie Riouw akhirnya dilebur dan tergabung dalam Provinsi Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Kemudian Provinsi Sumatera dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Dominannya etnis Minangkabau dalam pemerintahan Sumatera Tengah, menuntut masyarakat Riau untuk membentuk provinsi tersendiri.
BACA JUGA: Balikpapan Minta Tambahan 700 Kursi CPNS untuk Guru
Keinginan rakyat Riau yang menghendaki daerah otonomi sendiri kemudian dibahas dalam berbagai kesempatan. Dimulai dari pelaksanaan Kongres Pemuda Riau di Pekanbaru pada tanggal 17 Oktober 1954. Kemudian dilanjutkan pada 7 Agustus 1955 diadakan Konperensi DPRDS I antar empat kabupaten dalam Keresidenan Riau di Bengkalis.
Pada tanggal 7 September 1955 delegasi DPRDS empat Kabupaten Riau menghadap Mendagri Mr. R. Soenarjo dengan membawa hasil keputusan bersama yang tertuang dalam surat nomor De/44/12/13/7 yang isinya kesepakatan untuk segera membentuk Provinsi baru. Tertulis dalam surat tersebut salah satu poinnya adalah,"Persoalan itu akan diberi perhatian seperlunja, dan pembagian wilajah R.I. dalam daerah-daerah Provinsi jang baru sedang direntjanakan."
BACA JUGA: Berburu Tiket Kapal Menuju Raja Ampat
Keseriusan untuk membentuk Provinsi Riau diwujudkan dengan membentuk Badan Penghubung Persiapan Provinsi Riau di Jakarta pada tanggal 9 September 1955. Kemudian pada tanggal 31 Januari sampai dengan 2 Februari 1956 diselenggarakan Kongres Rakyat Riau.
Meski pada tanggal 22 Oktober 1956, dalam sebuah pertemuan para tokoh dengan Mendagri Soenaryo, disebutkan bahwa Undang-undang Pembentukan Provinsi Riau belum disiapkan, namun akan diajukan dalam Sidang Parlemen permulaan 1957.
BACA JUGA: Jelang Sail Raja Ampat, Hotel di Kota Sorong Penuh
Setelah melalui proses yang begitu panjang, barulah pada sidang kabinet 1 Juli 1957 menyetujui Riau dan Jambi menjadi Provinsi sendiri. Persetujuan ini kemudian dituangkan dalam UU Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi yang disetujui pada tanggal 7 Agustus 1957.
Akhirnya pada tanggal 9 Agustus 1957 diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 75 dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1957 yang menetapkan pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Tanggal ini kemudian setiap tahunnya dirayakan sebagai Ulang Tahun Provinsi Riau.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 256/M/1958, pada 5 Maret 1958 dilakukan pelantikan Gubernur KDH Provinsi Riau pertama saat itu, SM Amin di Tanjungpinang. Maka resmilah terbentuk daerah Swatantra Tingkat I Provinsi Riau, dengan pembagian 5 wilayah daerah, yakni Bengkalis, Kampar, Indragiri, Kepulauan Riau dan Kotapraja Pekanbaru.
Seiring dengan jalannya reformasi, terjadi perubahan secara administratif di Provinsi Riau. Setelah berlakunya pelaksanaan otonomi daerah, muncul daerah-daerah baru di Indonesia. Dari 27 Provinsi menjadi 32 Provinsi. Tidak terkecuali Provinsi Riau, terhitung mulai tanggal 1 Juli 2004 Kepulauan Riau resmi menjadi provinsi ke-32 di Indonesia, itu berarti Provinsi Riau yang dulunya terdiri dari 16 Kabupaten/Kota sekarang menjadi 12 Kabupaten/Kota.
Potensi Provinsi Riau
Di usianya yang kini mencapai 57 tahun, Provinsi Riau menjelma menjadi salah satu provinsi kaya di Nusantara. Hampir semua kekayaan alam dimiliki provinsi ini. Di dalam perut buminya terkandung minyak bumi, batubara, emas, timah dan bahan tambang lainnya. Sementara di atasnya terhampar kekayaan hutan, perkebunan dan pertanian dalam arti luas.
Pertambangan umum berdenyut relatif pesat, ditandai dengan banyaknya perusahaan yang ikut andil bergerak di bidang ini. Mereka seolah berlomba mengeruk isi perut bumi Riau, mulai dari menggali pasir laut, granit, bauksit, timah, emas, batu bara, gambut, pasir kuarsa sampai andesit.
Di samping minyak dan gas timah juga merupakan hasil tambang Riau. Konstribusi sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riau mencapai Rp.57.927.709,65,- atau sekitar 41,68 %. Karena itu, sektor pertambangan menjadi andalan provinsi dalam memperkokoh perekonomiannya.
Sektor pertanian menjadi salah satu motor penggerak perekonomian rakyat. Sektor ini tidak saja mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian lokal, tapi juga mampu menyerap banyak sekali tenaga. Kini tersedia lahan sawah seluas 28.845 ha yang dilengkapi dengan saluran irigasi, 150.092 ha sawah tadah hujan, 70.284 ha sawah pasang surut dan 13.077 ha sawah lainnya.
Provinsi Riau memiliki letak yang strategis yaitu pada jalur perdagangan regional dan internasional di kawasan ASEAN yaitu berada di jalur perkapalan internasional yang sangat sibuk yang menghubungkan Samudra Hindia dengan Laut Cina Selatan dan Samudra Pasifik. Keberadaan provinsi ini membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut Cina Selatan.
Secara geografis Provinsi Riau terletak antara 01o 05 00 Lintang Selatan sampai 02o 25 00 Lintang Utara serta antara 100o 00 00 Bujur Timur sampai dengan 105o 05 00" Bujur Timur. Dengan batas batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara, Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat, Sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara, Sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Selat Malaka.
Secara administratif Provinsi Riau terdiri dari 9 Kabupaten dan 2 Kota, dengan ibukota provinsinya yaitu Kota Pekanbaru. Provinsi ini memiliki luas area sebesar 8.915.015,09 Ha (89.150 Km2). Kabupaten Indragiri Hilir merupakan kabupaten dengan luas wilayah terbesar dengan luas 1.379.837 Ha (15,5%), diikuti oleh Kabupaten Pelalawan yang mempunyai luas 1.240.414 Ha (13,9%) dan Kabupaten Bengkalis seluas 1.204.423 Ha (13,5%).
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Riau pada tahun 2008 mencapai Rp. 91,08 Triliun. Struktur ekonomi Provinsi Riau didominasi sektor pertambangan yaitu sebesar 51,4% dari total PDRB atau sebesar Rp. 46,89 Triliun, disusul sektor Pertanian dan sektor industri pengolahan, masing masing nilainya sebesar Rp. 15,49 Triliun (17%), dan sektor industri pengolahan sebesar Rp. 9,91 Triliun (11%). Untuk sektor Pertambangan, kontribusi sub sektor pertambangan migas menyumbang terbanyak yaitu sebesar 98,4%, sementara pertambangan non migas dan penggalian masing masing hanya 0,9% dan 0,7%.
Komoditi yang diunggulkan pada provinsi ini adalah sektor pertanian, meliputi sub sector tanaman perkebunan dengan komoditi kelapa, kelapa sawit dan gambir. Sub sektor perikanan dengan komoditi Ikan Patin. Sedangkan komoditi penunjang pada sektor pertanian meliputi sub sektor tanaman perkebunan dengan komoditi kakao, karet, kopi dan durian. Untuk sub sektor perikanan meliputi budidaya laut dan budidaya tambak. Sementara untuk sektor jasa komoditi yang diunggulkan provinsi ini adalah bidang pariwisata.
Sebagai penunjang kegiatan perekonomian dan investasi di Provinsi Riau, tersedia sarana dan prasarana diantaranya Pelabuhan Pekanbaru di Kota Pekanbaru, Pelabuhan Perawang di Kota Pekanbaru, Pelabuhan Dumai di Kota Dumai, Pelabuhan Bagan Siapi-api di Kabupaten Rokan Hilir, serta Bandara Sultan Syarif Kasim II terletak di Kota Pekanbaru dan Bandara Pinang Kampai di Kota Dumai.
Momentum Kebangkitan
Pada HUT Provinsi Riau ke 57, tema yang diangkat mewakili semangat segenap komponen anak negeri ini. Yakni menjadikan momentum tersebut untuk mewujudkan Provinsi Riau yang maju, sejahtera dan berdaya saing tinggi. Hal ini ditegaskan oleh Gubernur Riau, H Annas Maamun dengan mengajak agar seluruh komponen masyarakat, turut bahu membahu dan menyatukan langkah membangun negeri Lancang Kuning.
Di bawah kepemimpinan Gubri H Annas Maamun dan Wagubri H Arsyadjuliandi Rachman, sudah disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau Tahun 2014-2019. Adapun visi RPJMD kali ini adalah: Terwujudnya Provinsi Riau yang maju, masyarakat sejahtera dan berdaya saing tinggi, menurunnya kemiskinan, tersedianya lapangan kerja serta pemantapan aparatur.
Untuk mewujudkan visi tersebut, dibuatlah program unggulan, antara lain: Pertama, membangun jaringan irigasi sepanjang 608 km sampai 2018. Kedua, memenuhi cakupan layanan air bersih dan ketersediaan listrik pedesaan. Ketiga, membangun sekolah kejuruan dan sekolah terpadu/boarding school di masing-masing kabupaten/kota. Keempat, memberikan beasiswa S1 bagi guru SD dan SMP sebanyak 400 orang serta memberikan beasiswa S2 bagi guru SMA dan SMK sebanyak 400 orang.
Kelima, memberikan dukungan bantuan siswa miskin (BSM) SMA dan SMK sebanyak 3.060 orang. Keenam, meningkatkan kelengkapan puskesmas dan sarana alat kesehatan. Ketujuh, pembangunan rumah layak huni sebanyak 18.428 unit serta pengembangan pekarangan produktif rumah layak huni. Kedelapan, penguatan usaha ekonomi masyarakat. Kesembilan, peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa dan kelurahan. Kesepuluh, pengembangan pusat-pusat budaya Melayu melalui pembangunan gedung seni dan pusat warga (civic centre) serta ruang terbuka hijau.
Kesebelas, mewujudkan kemandirian desa melalui kedaulatan pangan dengan meningkatkan ketersediaan pangan. Keduabelas, meningkatkan sarana dan prasarana destinasi wisata serta mengembangkan desa wisata. Ketigabelas, meningkatkan jumlah pelaku ekonomi kreatif dan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara. Terakhir, meningkatkan iklim investasi dan partisipasi angkatan kerja.
Dalam kurun waktu lima tahun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 12,87 persen, diperkirakan total anggaran pembangunan yang diperlukan sebesar Rp55 triliun. Ini diharapkan dapat mencapai target indikator makro pembangunan Provinsi Riau, yakni: Pertama, meningkatkan IPM dari 77,46 pada 2013 menjadi 80,01 pada 2018. Kedua, menurunkan indeks gini dari 0,37 pada 2013 menjadi 0,29 pada 2018. Ketiga, menurunkan angka inflasi dari 9 persen menjadi 5,99 persen pada 2018.
Keempat, menurunkan persentase pengangguran sebesar 5,50 persen pada 2013 menjadi 3,94 persen pada 2018. Kelima, menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 8,42 persen pada 2013 menjadi 5,84 persen pada 2018. Keenam, meningkatkan pertumbuhan ekonomi tanpa migas sebesar 6,13 persen pada 2013 menjadi 7,24 persen pada 2018. Terakhir, meningkatkan kualitas lingkungan dengan pencapaian indeks lingkungan hidup sebesar 56,23 pada 2013 menjadi 71,70 pada 2018.
Tentu saja sangat disadari oleh Gubri Annas Maamun, bahwa tidaklah mudah mewujudkan RPJMD tersebut. Selain berbagai masalah internal yang menghadang, masalah eksternal juga tidak sedikit. Misalnya saja masih banyak persoalan terkait Dana Bagi Hasil (DBH) yang berkeadilan dari Pemerintah Pusat. Padahal, DBH yang memadai tentu saja dapat memacu pembangunan Provinsi Riau.
Bila dibandingkan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua dengan UU Otsus-nya, tentu nasib yang diterima Provinsi Riau tidaklah sama. Jika dua Provinsi tersebut mendapat DBH minyak hingga 75 persen, Provinsi Riau hanya mendapat sekitar 15,5 persen saja. Padahal Provinsi Riau juga membutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk mengejar ketertinggalannya selama ini.
Selain tidak pernah dilibatkan dalam penetapan besaran DBH migas, Riau sebagai daerah penghasil juga tidak diberikan kewenangan untuk mengakses data perkembangan hasil eksplorasi maupun eksploitasi migas seperti data produksi, lifting, cost recovery dan pajak lainnya. Sehingga seorang Gubernur pun tidak tahu berapa sesungguhnya hasil produksi migas di daerahnya, termasuk perkembangan harganya.
Hal inilah yang dinilai banyak kalangan sebagai sikap tidak adil pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Apalagi dengan adanya dugaan, telah terjadi penyimpangan terhadap penghitungan besaran DBH. Hal ini antara lain terlihat dari perbedaan pencatatan lifting antara SKK Migas dengan KKKS. Pada 2010 misalnya, perbedaan itu mencapai Rp226 miliar. Sedangkan pada 2011 sebesar Rp248 miliar.
Diperparah lagi, daerah penghasil migas tidak menjadi prioritas dalam mendapatkan porsi APBN. Ini terbukti dari APBN untuk Riau yang dari tahun ke tahun belum menggembirakan. Padahal sebagai daerah penyumbang devisa bagi negara, daerah penghasil migas seyogyanya mendapat porsi APBN lebih besar untuk menumbuhkan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru.
Tekad Provinsi Riau untuk mengelola sendiri blok migas melalui BUMD yang sudah berakhir masa kontraknya, juga sering mendapat rintangan. Padahal, salah satu BUMD Riau yang sudah dipercaya mengelola suatu blok migas di Riau telah berhasil membuktikan diri mampu dengan meningkatkan produksi mencapai 300 persen dalam kurun waktu tiga tahun pengelolaan.
Tentu saja di masa yang akan datang, pemerintah pusat diharapkan dapat memberikan perhatian yang besar kepada Provinsi Riau. Karena dari Provinsi ini, telah diambil berbagai potensi besar sumber daya alamnya, sementara masyarakatnya masih belum merasakan kesejahteraan yang merata. Padahal dengan kekayaan yang dimilikinya, masyarakat Riau harus mendapatkan dampaknya.
Apalagi saat ini, sebagaimana dikatakan Gubernur Riau, Annas Maamun, telah ditemukan cadangan minyak baru yang diperkirakan terbesar di Riau, yaitu di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) berdasarkan hasil pertemuannya dengan PT Chevron Pasific Indonesia (CPI).
“Chevron menemui saya. Menurut mereka ada sumber minyak terbesar Riau di sekitar Sungai Rokan. Jumlahnya akan melebihi minyak Duri di Bengkalis," kata Gubernur di Pekanbaru beberapa waktu lalu.
Dengan banyaknya kekayaan yan dimiliki Riau itu, dalam momentum kemerdekaan RI, Gubernur Riau Anas Maamun pun mengajak semua pihak untuk bersama membangun Riau. Hal itu dilakukan untuk mengurangi kemiskinan Provinsi Riau yang telah dipimpin sembilan gubernur dan empat pejabat gubernur itu.
Masih banyak hak-hak rakyat Riau yang seharusnya bisa dinikmati, namun masih belum diberikan karena kurangnya transparansi dari pemerintah pusat dan belum maksimalnya pengelolaan oleh pemerintah daerah. Jika berbagai kendala ini bisa diatasi segera, maka dengan berbagai potensi yang dimilikinya, Provinsi Riau tentu layak untuk disebut sebagai poros ekonomi Indonesia bagian barat.[***]
(Tulisan dirangkum dari berbagai sumber)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jalan Akses Menuju Jakarta Dijaga Ketat
Redaktur : Tim Redaksi