jpnn.com, JAKARTA - Pengamat dan praktisi pendidikan Muhammad Nur Rizal menilai rendahnya mutu pendidikan di Indonesia disinyalir karena kualitas guru. Padahal, permasalahan ini sudah ada sejak lama tetapi tidak kunjung membuahkan solusi yang signifikan hingga sekarang.
"Jangan-jangan, sistem pendidikan Indonesia sendiri yang telah membelenggu guru selama puluhan tahun sehingga menjadi alasan solusi tidak kunjung membuahkan hasil," kata Nur Rizal dalam bimbingan teknis sekolah menyenangkan besutan Balai Besar Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi bidang Pertanian secara daring, Selasa (6/7).
BACA JUGA: Banyak Guru Honorer Kesulitan Mendaftar PPPK 2021, Mas Nadiem kok Diam Saja
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu menuturkan bahwa pola pengembangan profesionalisme guru di Indonesia selama ini berorientasi pada pemenuhan administrasi, sehingga penilaiannya lebih bersifat tidak nyata. Sebatas konsep yang teknokratis.
Dia mengakui Kementerian Pendidikan, Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbudristek) telah mencoba mengembangkan pelatihan guru penggerak, tetapi pada pelaksanaannya, pemerintah daerah masih berorientasi pada pemenuhan administrasi.
BACA JUGA: Perkiraan Ferdinand soal Jumlah Mahasiswa Ingin Jokowi Mundur, Sebegini...
Rizal menyebut ada tiga aspek yang harus diubah dalam pengelolaan pengembangan profesionalisme guru, yaitu, aspek pemberian otonomi kepada guru, pembentukan komunitas guru, dan kesempatan luas mengembangkan diri.
"Ketiga aspek ini diharapkan bisa meningkatkan kompetensi profesional, pedagogi, sikap kepribadian dan keterampilan sosial guru," ucapnya.
BACA JUGA: 420 Tempat Usaha Kena Sanksi, Ada yang Disegel, Bobby: Tidak Tebang Pilih
Namun, kata Nur Rizal, pelatihan guru selama ini lebih berorientasi pada peningkatan pedagogi dan profesionalisme karir guru, kurang menyentuh aspek sikap kepribadian dan sosial.
Dia mencontohkan praktik otonomi guru adalah bagaimana pemerintah baik kementerian, khususnya pemerintah daerah memberikan ruang bagi guru untuk membuat kurikulum sekolah sendiri yang bisa menerjemahkan kurikulum pusat.
Menurutnya, pemberian otonomi itu penting karena antarguru punya peluang saling berbagi dan mendukung satu sama lain dalam meningkatkan standar kualitas pengajarannya.
"Jika kebijakan ini terus menerus terjadi, maka akan tercipta budaya baru. Guru merasa percaya diri dan memiliki kemandirian untuk mengambil keputusan atas praktik pengajaran selama ini," terangnya
Selain itu, lanjut Rizal, guru akan menjadi pelaku utama bagi pengembangan siswanya secara holistik karena memahami kondisi mental dan kompetensi siswanya.
Dia juga menyentil soal komunitas guru seperti KKG (Kelompok Kerja Guru), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), KKS (Kelompok Kepala Sekolah) yang lebih banyak dipakai untuk menyeragamkan proses belajar antarsekolah serta capaian belajar yang diharapkan dari siswa didiknya.
BACA JUGA: Para Wanita Ini Dibawa dari Tempat Spa di Semarang, Lihat Penampilannya
Akibatnya, kata dia, guru-guru secara tidak sadar terbentuk rasa tidak memiliki kewenangan untuk pengetahuan dan kompetensi profesionalismenya.
Hal itu menurut dia terjadi akibat tuntutan yang terlalu fokus pada pemenuhan administrasi oleh pemerintah daerah.
"Kondisi tersebut perlu dibongkar agar guru tidak terkungkung dalam budaya feodalisme standarisasi," tegasnya.
BACA JUGA: Pasangan NR dan AB yang Ditangkap karena Narkoba Ternyata Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie
Rizal menambahkan, banyak guru mengeluhkan berbagai program baru karena itu berarti ada penambahan beban administrasi baru lagi.
Contohnya, kata RIzal, program Sekolah Adiwiyata, Sekolah HAM, dan berbagai macam program lain yang tidak berdampak pada peningkatan profesionalisme pengajaran guru maupun hasil belajar siswa, tetapi lebih pada tujuan politis kelancaran program baru tersebut. (esy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad