Puncak penularan kasus COVID-19, paling tidak di Kabupaten Sidoarjo di Jawa Timur, diperkirakan baru akan terjadi di bulan Juli, sehingga saat ini tidak diperlukan tindakan bergesa-gesa untuk melakukan apa yang disebut kehidupan 'new normal'.

Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan memiliki kasus corona virus yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia dan menjadikanya sebagai epicentrum utama penyebaran virus tersebut.

BACA JUGA: Klaster Baru Covid-19 di Kota Semarang Bertambah

Beberapa rumah sakit di Jawa Timur, termasuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo kini kewalahan menampung pasien COVID-19.

Sidoarjo menjadi kawasan kedua di Jawa Timur yang memiliki kasus virus corona.

BACA JUGA: Biaya Perawatan Pasien Covid-19 Mahal, Ini Kata Bamsoet

Dr Atok Irawan, SpP dalam perbincangan dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya, hari Selasa (2/6/2020), mengatakan tidak perlu tindakan tergesa ke 'new normal'.

"Saat ini semua rumah sakit di Surabaya dan Sidoarjo penuh ruang isolasinya," kata dr Atok.

BACA JUGA: Bamsoet Minta Pemerintah Pertimbangkan Kembali Penerapan New Normal

"Di RSUD Sidoarjo ruang isolasi ada 131 tempat tidur, pasien yang kami rawat 134 pasien, dengan tiga 3 orang saat ini isolasi di IGD," katanya. Photo: Dr Atok Irawan, kepala rumah sakit umum daerah Kabupaten Sidoarjo di Jawa Timur. (Foto: Supplied)

 

Dari seluruh rumah sakit yang ada di Kabupaten Sidoarjo, seluruh tempat tidur isolasi yang tersedia adalah 352 dan semuanya penuh terisi.

Menurut dr Atok, selama tiga minggu terakhir, kasus COVID di wilayahnya terus meningkat.

"Hitungan saya, puncaknya akan terjadi di bulan Juli, dan di bulan Agustus baru turun," katanya.

Menurutnya hal yang menyebabkan terus meningkatnya kasus corona di Jawa Timur adalah karena tidak cukupnya kedisiplinan terhadap protokol kesehatan di kalangan masyarakat.

"Pemakaian masker dan social distancing tidak dijalankan," katanya.

Penambahan kasus-kasus baru, menurut dr Atok terjadi selama bulan Ramadan dan Lebaran. Inovasi anak bangsa di tengah pandemi COVID-19
Sejumlah ilmuwan serta beberapa warga Indonesia telah menghasilkan penemuan berbasis teknologi untuk membantu tenaga kesehatan dalam menangani penularan virus corona.

 

"Banyak orang berkerumun belanja untuk kebutuhan lebaran. Pembagian sembako dan BLT juga tidak sesuai protokol, jadi kasus makin meningkat," katanya lagi.

Seorang dokter lain yang dihubungi oleh ABC Indonesia, Dr Brahmana Askandar, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Surabaya juga menyebut hal yang sama mengenai protokol kesehatan yang harus dilakukan warga.

"Perjuangan belum selesai, patuhi protokol kesehatan, memakai masker dengan benar, masker bukan dipakai hanya untuk memenuhi syarat saja,"

"Pastikan menutup hidup dan mulut dengan baik dan benar. Pemakaian masker yang tidak benar masih sangat banyak ditemui," kata Dr Brahmana ketika ditanya mengenai apa yang harus dilakukan masyarakat saat ini. Photo: Kasus konfirmasi COVID-19 di Provinsi Jawa Timur Per 1 Juni 2020 Pukul 17:00 WIB. (Foto: Supplied)

  Orang muda pun bisa terkena virus dan fatal

Menurut angka resmi hingga 1 Juni kemarin, ada 655 kasus virus corona dengan 58 orang meninggal dunia di Sidoarjo.

Menurut dr Atok, 90 persen yang meninggal adalah mereka yang sudah memiliki masalah kesehatan lainnya dan berusia di atas 60 tahun.

Namun sebagai dokter spesialis paru-paru, dr Atok juga mengatakan virus ini bisa menyerang siapa saja dengan akibatnya bisa fatal.

Dia menunjukkan sebuah hasil rontgen paru-paru seorang korban yang baru berusia 31 tahun yang meninggal tanpa memiliki masalah kesehatan sebelumnya. Photo: Salah satu korban COVID-19 di Jawa Timur, yang tidak memiliki masalah kesehatan sebelumya dimana paru-parunya mengalamim pneumonia dalam waktu cepat.
(Foto: Supplied)

 

Hanya dalam waktu dua hari, pasien tersebut mengalami radang paru-paru (pneumonia).

"Yang lain yang meninggal ada karena TB paru luas, gagal, gagal ginjal, diabetes melitus, riwayat penyakit jantung, bahkan HIV AIDS," katanya.

Menurutnya, berbagai informasi sudah disampaikan kepada masyarakat mengenai bahayanya virus tersebut, namun informasi itu oleh sebagian masyarakat masih tidak dianggap serius.

Dr Atok mengatakan sebagian masyarakat Indonesia masih "dableg", atau tidak mau memenuhi anjuran kesehatan. Photo: Peta Sebaran COVID-19 di Jawa Timur per 1 Juni 2020. (Foto: Supplied)

  Angka kasus tertinggi di Surabaya

Di provinsi Jawa Timur, kasus COVID-19 tertinggi sejauh ini menurut angka resmi dari pemerintah adalah di kota Surabaya.

Sampai hari Senin, di Surabaya ada 2.608 kasus, dengan 243 orang yang meninggal.

Dr Brahmana Askandar, Ketua IDI Surabaya mengatakan naiknya angka kasus positif kemungkinan disebabkan karena meningkatnya tes yang dilakukan.

"Saat ini Surabaya dan Jawa Timur sedang mengadakan tes secara masif, baik Rapid Test maupun PCR, mungkin hal ini yang membuat angka meningkat signifikan," katanya kepada ABC Indonesia. Photo: Pintu masuk Ruang Isolasi COVID-19 RSUD Sidoarjo di Jawa Timur. (Foto: Supplied)

 

"Mungkin juga memang kasusnya meningkat. Jadi bisa karena gencarnya test yang dilakukan, bisa juga memang masih terjadi pergerakan penduduk, masuk ke Jawa Timur."

Dalam pantauannya dari sisi tenaga kesehatan, berkaitan dengan Alat Perlindungan Diri (APD), Dr Brahmana mengatakan sejauh ini persediaan sudah lebih baik dari masa sebelumnya.

"APD sejauh ini masih ada, lebih baik daripada masa awal-awal dulu, mungkin dengan banyaknya donasi, juga bantuan dari BNPB, meski kekurangan di sana sini masih tetap terjadi," katanya. 'Berserah diri pada alam'
Kenali dampak psikologi pandemi virus corona di Indonesia dan cara mengatasinya.

 

Sementara itu di RSUD Sidoarjo, dr Atok mengatakan mereka sudah memiliki APD yang cukup untuk masa empat bulan ke depan.

Dr Brahmana mengatakan persoalan yang sekarang harus dipecahkan oleh pihak-pihak terkait adalah mencegah semakin banyaknya penularan.

"Problem penting yang harus dipecahkan adalah testing masyarakat atau pasien, sehingga bisa mendiagnosis pasien mana yang pasien COVID-19 dan mana pasien mana yang non COVID, sehingga tidak bercampur yang akan meningkatkan risiko penularan," katanya.

Ia juga berpendapat diperlukan pemisahan rumah sakit, yang khusus menangani COVID-19 dan rumah sakit yang non-COVID.

"Karena pasien non-covid juga tetap perlu penanganan optimal yang aman," kata Dr Brahmana, Ketua IDI Surabaya.

Ikuti perkembangan terkini soal pandemi virus corona di dunia lewat situs ABC Indonesia

Simak! Video Pilihan Redaksi:

BACA ARTIKEL LAINNYA... Langgar Protokol Kesehatan, Puluhan Toko Mainan Pasar Gembrong Ditutup

Berita Terkait