Punya Atribut Pemilu sampai Situs Partai Gurem yang Kolaps

National Library Australia yang Merekam Lengkap Sejarah Indonesia

Senin, 07 April 2014 – 17:38 WIB
KOLEKSI: Tieke Atikah menunjukkan salah satu microfilm induk media ini, Jawa Pos, yang dimiliki NLA saat dijumpai di Canberra, Australia, Kamis (27/3). Foto: Dwi Shintia Irianti/Jawa Pos

jpnn.com - SEBAGAI tetangga dekat, Australia rupanya mengikuti betul apa yang terjadi di Indonesia. Mereka punya National Library Australia, yang memiliki koleksi buku dan literatur tentang Indonesia yang mumpuni. Begitu lengkapnya, mereka mengklaim sebagai perpustakaan dengan “koleksi Indonesia” terbesar di dunia.

----------
Dwi Shintia Irianti, Canberra
----------
GERIMIS membasahi jalan menuju Perpustakaan Nasional Australia saat jarum jam melintasi angka 15.00 waktu Canberra, Australia, pekan lalu. Kota pemerintahan Australia itu pun merambat senyap. Memang, meski berlabel kota pemerintahan, populasi Canberra tidak besar. Berdasar sensus penduduk pada 2011, jumlah penduduknya hanya berkisar 411 ribu. Tidak terlalu banyak mengingat Canberra salah satu kota dengan luas terbesar di Australia.

BACA JUGA: Hampir Semua Memuji, Sebagian Nangis

Meski demikian, sebagian Canberran –sebutan untuk masyarakat Canberra, belum hendak beranjak dari ruang-ruang baca di Perpustakaan Nasional Australia (National Library Australia – NLA). Waktu yang seolah lambat berjalan, suhu sejuk dengan matahari yang malas menampakkan dirinya, menjadi latar yang pas untuk menghabiskan waktu membaca di perpustakaan yang terletak di Parkes Place, Canberra, itu.

Namun, tidak hanya Canberran yang mendatangi perpustakaan itu. Menjadi salah satu perpustakaan dengan koleksi terbesar di dunia, NLA adalah jujukan bagi pencari literatur dari seluruh dunia. Seperti Penny Peters. Ditemui di bagian Asian Collection alias Koleksi Asia, Peters sedang mencari data untuk melengkapi tesis doktoralnya. Peters bukan Canberran, perempuan berpotongan pendek itu berasal dari Swedia.

BACA JUGA: Melongok Gemerlap Kaum Lesbian di Kota Tua

”Saya sengaja ke Canberra karena di sini ada buku dan literatur yang saya butuhkan,” katanya saat di jumpai media ini Kamis (27/3) di Canberra, Australia.

Koleksi Asia di NLA tersebut memang tidak main-main. Mereka punya jutaan buku, jurnal, sampai media massa seperti koran, majalah, dan tabloid dari negara-negara di Asia. Yang istimewa, penanggung jawab Koleksi Asia itu seorang perempuan mungil berkacamata yang terlahir di Bandung, Jawa Barat, lima puluh tahun yang lalu.

BACA JUGA: Ella Ubaidi, Motor Revitalisasi Stasiun Kereta Api di Indonesia

Namanya, Tieke Atikah. Ibu satu anak yang sudah 25 tahun tinggal di Australia itu sangat gesit menerangkan tentang koleksi yang mereka miliki.

Termasuk, menjelaskan koleksi literatur Indonesia di NLA menjadi koleksi terbesar di dunia. “Jika ingin mencari sesuatu tentang Indonesia, NLA tempatnya,” ujar Tieke yang bersuami warga negara Australia itu.

Ditambahkan Tieke yang mengambil jurusan librarian di Institut Teknologi Bandung dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Inggris itu, NLA punya lebih dari 200 ribu judul buku yang berhubungan dengan Indonesia, lima ribu jurnal, dan 250 media massa seperti koran dan tabloid.

Itu belum termasuk koleksi lain seperti kumpulan halaman websites media dari Indonesia, data-data Badan Pusat Statistik, sampai koleksi bersejarah saat pemerintahan Belanda dan Jepang menguasai Indonesia. Serta, majalah dan koran yang sudah diberedel pemerintah. ”Koleksi tertua kami tercatat mulai tahun 1940,” ujar Tieke.

Saat berkunjung ke perpustakaan itu, media ini yang datang atas undangan Kedutaan Besar Australia Jakarta melihat berbagai macam buku Indonesia di Asian Collections Reading Room. Seperti Pers Indonesia di Mata Saya karya Presiden Inter Milan, Erick Thohir. Ada juga buku Imron Sang Pengebom, Kiai dan Korupsi, Presiden Golput, dan buku fotografi karya fotografer Jawa Pos Yuyung Abdi, Lensa Manusia.

"Koleksi Indonesia kami mulai dari ilmu sosial, pemerintahan, agama, dan literatur. Bahkan koleksinya sampai level kabupaten/kota,” terang Tieke yang menyempatkan untuk pulang ke Indonesia dua kali setahun itu.

Saat musim pemilihan umum saat ini, NLA pun menyediakan bagian khusus untuk pemilu. Bagian khusus itu menampilkan berbagai ornamen yang berhubungan dengan pemilu. Seperti baliho, selebaran-selebaran, stiker, sampai kaus-kaus partai yang mengikuti pemilu. ”Untuk pemilu tahun ini koleksinya sedang diperbarui.

Yang dipajang saat media ini mengunjungi NLA adalah koleksi saat pemilu pada 2004 dan 2009. Ada berbagai jenis striker Megawati dengan calon wakil presidennya KH Hasyim Muzadi dan SBY dengan Jusuf Kalla.

Tidak hanya atribut pemilu, mereka juga memiliki situs-situs yang dibikin para partai. Situs, yang mungkin saat ini sudah tidak ada lagi karena tidak diurusi atau partai yang saat itu ada namun sekarang sudah kolaps.

”Asal tahu nama situsnya, mudah-mudahan kami memilikinya,” terang Tieke kemudian menunjukkan beberapa situs partai gurem yang namanya sudah tidak terdengar lagi.

Dijelaskan Tieke, sebenarnya koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta juga lengkap. Bahkan lebih lengkap dari NLA. Namun, kelemahannya, ratusan ribu koleksi tersebut kerap tidak tercatat. Dan, meski pun tercatat, tidak mudah untuk menemukan koleksi yang diinginkan terutama bila buku atau literatur tersebut tidak populer. ”Mungkin bukan tidak ada, tetapi susah mencarinya,” terang Tieke.

Kata Tieke, semua itu tidak lepas dari prosedur pengaturan koleksi yang dimiliki satu perpustakaan. Seperti NLA. Mereka sangat terorganisasi. Semua koleksi tercatat, tersimpan, dan mudah diakses. Berbeda dari perpustakaan konvensional yang mengharuskan orang untuk tenggelam dalam deretan buku yang dibutuhkan, di NLA cukup bermodal komputer. Bisa komputer di NLA atau secara online dari belahan bumi mana pun.

Nantinya, orang tinggal mencantumkan judul buku atau literatur yang diinginkan. Bila orang tersebut berada di NLA, cukup menanti sekitar 20 menit, buku yang dibutuhkan akan diantar oleh petugas perpustakaan. Memang, buku-buku di NLA tidak dipajang di tempat terbuka. Mereka meletakkan buku-buku itu di lantai berbeda.

”Ini demi menjaga keberadaan koleksi kami,” terang Tieke.

Untuk beberapa koleksi seperti koran dan data-data pemerintahan, mereka menggunakan microfilm. Jadi, tidak perlu lagi membuka bendelan koran superberat. Cukup menghadap layar komputer, halaman per halaman yang dibutuhkan akan tersaji di layar tersebut.

Untuk mendapatkan koleksi-koleksi tersebut, NLA memiliki perwakilan di Jakarta. Dalam sebulan sekitar 300 sampai 400 judul buku akan dikirim ke Australia. Itu belum termasuk literatur. Sementara, untuk media massa dan data-data pemerintahan, NLA mendapat suplai dari salah satu perusahaan data yang bermarkas di Amerika Serikat. ”Kami membeli koleksi tersebut,” ujarnya.***
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tahun Depan Garap Indonesia International Film & TV Market


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler