jpnn.com, MANILA - Saat ini tercatat ada 100 kelompok barter di Filipina, ditemukan di dunia maya oleh Reuters. Masing-masing kelompok memiliki anggota ratusan ribu hingga jutaan.
Jumlah kelompok barter online meningkat sejak Filipina menerapkan lockdown berkepanjangan mulai Maret dan dilanjutkan dengan lockdown parsial di ibu kota Filipina, sepanjang September.
BACA JUGA: Filipina Ancam Tendang Perusahaan Tiongkok yang Masuk Daftar Hitam Amerika
Kelompok barter online dimanfaatkan warga Filipina untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara menukar benda lain untuk barang yang dibutuhkan. Seperti yang dilakukan oleh seorang ibu dengan bayi yang baru lahir, Lagaday.
Dia kesulitan mendapatkan kebutuhan untuk bayinya lantaran pusat perbelanjaan ditutup dan gerakan warga dibatasi.
BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Balasan Keras Din Syamsuddin untuk Istana, Reaksi FPI, Gaji PPPK Menggiurkan
Dia pun menukar tasnya dengan sejumlah snack dan kebutuhan bayinya. "Saya butuh kebutuhan untuk menyusui tetapi keadaan barang sangat terbatas. Barter sangat membantu saya menemukan penawaran terbaik untuk barang yang saya butuhkan," katanya.
Dia mendapatkan sekotak M&M dan makanan lainnya, sehari setelah tasnya laku di online.
BACA JUGA: Pasar Hingga Restoran di Kota Bekasi Hanya Beroperasi Sampai Jam 6 Sore, Jakarta Mau Tiru?
Temuan lain, anggota kelompok juga banyak menukar barangnya dengan kebutuhan pokok. Seorang laki-laki di Provinsi Cebu menukar mobil Mitsubishi Lancer 1993 untuk 125 ribu peso serta sejumlah makanan kalengan, mi, dan beras, yang dibagikan kepada warga miskin.
Sedangkan, seorang mahasiswa berusia 20 tahun menukar unggas hidupnya dengan dua kaleng ayam krispi.
Barter di Era Internet
Barter sendiri memiliki sejarah panjang di Filipina. Negara kepulauan dengan lebih dari 7.600 pulau, menyebabkan distribusi barang tepat waktu terkendala transportasi pada masa lalu.
Kini, Filipina menjadi negara dengan ketergantungan yang tinggi terhadap internet. Berdasarkan data Hootsuite dan We Are Social, penduduk Filipina rata-rata menghabiskan waktu hingga 10 jam di depan internet, sedangkan rata-rata global maksimal enam jam.
Browsing di sosial media mencapai hampir empat jam di setiap harinya, hasil tertinggi dibandingkan rata-rata global mencapai 2,5 jam.
Kata kunci 'barter trade' di Google pun mengalami peningkatkan 203 persen antar April dan Mei. Ini mengikuti lockdown terbatas yang ada di Manila dan sejumlah wilayah sekitar.
Ribuan unggahan muncul di Facebook setiap harinya, menukarkan buku, baju, gawai, dengan berbagai kebutuhan sehari-hari hingga binatang.
Sementara, pemerintah setempat menyebut praktik ini sebagai ilegal dan bagian dari pengemplangan pajak. Sekretaris Perdagangan Ramon Lopez menyatakan akan memberikan denda untuk praktik barter, pada Juli lalu.
Sikap ini menimbulkan berbagai kritik di media sosial dan menyebut jika pemerintah berupaya mencari pajak bahkan di tengah kondisi pandemi.
Filipina sendiri kini memasuki resesi pertama sejak tiga dekade terakhir, dengan pengangguran meningkat mencapai 17,7 persen akibat pandemi. Barter bisa jadi akan berlangsung lebih panjang dibanding yang diharapkan pemerintah. (rtr/ngopibareng/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia