Adhito Harinugroho memutuskan untuk mengubah gaya hidupnya setelah temannya meninggal dunia akibat obesitas dan apnea tidur, atau gangguan tidur.

Tekad tersebut diwujudkannya dengan membeli sebuah sepeda di awal 2017.

BACA JUGA: Mengapa Jumlah Ilmuwan Perempuan di Australia Masih Kalah Dibanding Beberapa Negara Berkembang?

"Itu yang membuat saya berpikir, 'wah kayaknya tidak bisa saya begini terus ... harus ubah gaya hidup'," kata pria yang akrab disapa Dhito tersebut.

Sampai hari ini, sepeda masih menjadi kendaraan utamanya di Jakarta selain dari kendaraan umum yang hanya dipilihnya ketika mendesak.

BACA JUGA: Warga Australia Sudah Merasa Aman dari COVID-19, Tak Termotivasi Divaksinasi

Namun, pria yang setiap harinya menghabiskan tiga jam di atas sepeda tersebut harus berhadapan dengan musuh lain: polusi Jakarta.

"Ketika udara yang kita hirup polusi, itu jelas sesak, gatal tenggorokan, setelah itu ya muka berdebu seperti di iklan pembersih wajah," kata pria berusia 28 tahun tersebut.

BACA JUGA: COVID-19 Menggila, Indonesia Hentikan Sementara Impor Daging Kerbau dari India

"[Apalagi] di tahun 2018-2019 itu kan [Pemerintah Jakarta] sedang banyak membangun jalur LRT, [sehingga] debu sisa infrastruktur plus juga panasnya mesin mobil dan buangan mesin mobil ... semakin membuat sesak."

Di tahun 2019, Dhito menjadi salah satu di antara 32 warganegara Indonesia yang mendaftarkan gugatan pencemaran udara Jakarta kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Gugatan ini dilayangkan pada Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, Gubernur Provinsi DKI Jakarta, serta Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.

Namun keputusan sidang kembali akan diundur hingga 10 Juni 2021 karena hakim "memerlukan waktu untuk mempelajari lebih lanjut" berkas dan perkara yang ada.

Dhito mengaku kecewa dengan keputusan pengadilan yang kembali menunda kembali pembacaan putusan yang seharusnya dilakukan Kamis kemarin (20/05).

"Semua makhluk hidup pasti membutuhkan udara, jadi seharusnya untuk hal yang basic [mendasar] tidak perlu ada penundaan," kata Dhito meresponi penundaan tersebut.

"Masa kita mau bernapas ditunda? Aneh."

Istu Prayogi adalah penggugat lain yang sejak tahun 2004 sudah mengonsumsi vitamin dan obat-obatan karena bercak di paru-parunya yang menurut dokter "dipengaruhi udara kotor".

Menurutnya, bercak tersebut disebabkan oleh udara di Jakarta yang dihirupnya ketika intensif bekerja dan beraktivitas di luar dengan mengandalkan transportasi umum di tahun 1988 hingga 1995.

Kondisi tersebut mempengaruhi hidupnya sampai hari ini.

"Setiap hari saya selalu pakai masker, setiap aktivitas terganggu, dan saya ketergantungan obat. Kalau belum minum obat rasanya kepala berat, hidung tersumbat, susah bernapas karena lendir yang berlebihan," katanya.

Mendengar kabar penundaan putusan, pria berusia 55 tahun itu mengaku tidak merasa terkejut dan "tidak habis pikir".

"Kalau saya pribadi sudah tidak aneh terhadap sistem peradilan di Indonesia ... namun kita juga tidak boleh berputus asa, tetap berharap mungkin masih ada segelintir hakim yang masih bisa kita harapkan untuk menegakan aturan walaupun kami sudah setengah frustrasi," katanya. Pemerintah pernah merevisi aturan soal udara

Kuasa Hukum Tim Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (IBUKOTA), Ayu Eza Tiara menyesali penundaan sidang putusan untuk yang kedua kalinya tersebut.

"Dengan proses yang lama seperti ini yang memakan waktu hampir dua tahun, terus ditunda lagi sampai enam minggu," katanya.

"Itu kan semakin lama lagi ya, warga Jakarta untuk mendapatkan hak atas udara bersihnya."

Kepada ABC Indonesia, Ayu mengatakan pemerintah sempat melakukan perubahan aturan sejak diajukannya gugatan.

Salah satu aturan yang direvisi adalah Keputusan Gubernur Nomor 1042 Tahun 2018 Tentang Daftar Kegiatan Strategis Daerah.

Ke dalam aturan tersebut, Pemprov DKI Jakarta memasukkan pengendalian pencemaran udara ke dalam daftar kegiatan strategis daerah pada 8 Juli 2019, empat hari setelah gugatan diajukan.

Menurut Ayu, tindakan yang dilakukan menyusul adanya gugatan dari warga ini "secara tidak langsung" menunjukkan Pemerintah "mengakui kesalahannya", namun tidak berhenti di sana.

"Yang kita sesali bukan soal mereka suka melakukan revisi," ujarnya. 

"Tetapi kita lihat apakah revisinya sesuai sama kebutuhan saat ini ... apakah efektif atau efisien pelaksanaannya, jangan sampai pemerintah membuat aturan yang tidak bisa mereka laksanakan." Polusi udara di Jakarta 'mengerikan'

Sementara itu, Jakarta berada di posisi yang rawan dalam hal kerusakan lingkungan.

Menurut data proyek Cities@Risk yang mengurutkan 576 kota terbesar di dunia berdasarkan paparannya pada ancaman lingkungan dan yang berkaitan dengan iklim, Jakarta merupakan kota dengan risiko kerusakan lingkungan tertinggi.

"Kota di posisi terburuk, Jakarta, memiliki polusi udara yang mengerikan dan terancam aktivitas seismik serta banjir," bunyi laporan yang dirilis 12 Mei 2021 tersebut.

Bersanding dengan Jakarta adalah India, yang 19 kotanya berada dalam daftar lokasi dengan Indeks Kualitas Udara yang membahayakan dan menyebabkan satu dari lima kematian di tahun 2019.

Seperti dikutip dari kantor berita Reuters, Pusat Energi dan Udara Bersih (CREA) mencatat kualitas udara yang buruk di Jakarta disebabkan oleh beberapa faktor, seperti urbanisasi yang cepat, kondisi lalu lintas yang kronis, di samping keberadaan pembangkit listrik tenaga batu bara.

Pengukur kualitas udara untuk partikel kecil berukuran 2,5 mikron yang dipasang di Kedutaan Besar Amerika Serikat mencatat udara yang tidak sehat sebanyak 172 di Jakarta pada tahun 2019.

Jumlah hari tidak sehat ini bertambah sebanyak 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Menjadi 'pertaruhan masa depan anak'

Penundaan sidang putusan hakim merupakan "pertaruhan masa depan anak" di Jakarta menurut Khalisah Khalid, koordinator politik di organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang turut mengadvokasi gugatan polusi udara tersebut.

"Kita sebenarnya sedang berhitung juga dengan waktu, dengan kualitas udara yang buruk seperti ini, kita tidak bisa semuanya dilakukan secara santai dan lama," katanya.

Khalisah yang memiliki anak berumur 10 tahun dengan alergi sejak bayi, mengatakan jika seluruh permohonan penggugat dikabulkan maka harapannya "bisa membantu menyelamatkan anak Indonesia dari kualitas hidup yang semakin buruk".

"Memang penggugat CSL ada 32 orang, tapi kami yakin di luar sana banyak sekali orang-orang yang punya nasib yang sama ... mungkin ada banyak orangtua yang tidak punya cukup uang untuk berobat, menjaga daya tahan tubuh anak, dan sebagainya," katanya.

Khalisah berharap dapat memenangkan perkara ini, meski akan tetap memiliki "banyak pekerjaan rumah" bila terjadi.

Apalagi setelah usaha demi usaha yang telah dilakukan WALHI bersama organisasi lainnya untuk mendorong pengendalian pencemaran udara di Jakarta sejak gugatan belum diajukan.

"Kalau dimenangkan, tentu ini akan menjadi preseden yang sangat baik bagi upaya penegakan hukum lingkungan dan menjadi jalan untuk bisa memulihkan kualitas udara kita," kata Khalisah.

"Dan kita semua, bukan cuma penggugat saja, harus mengawal ... apakah sesuai dengan tujuan kita, jangan dibelokkan dan seterusnya, itu tentu perlu pengawalan dan effort [usaha] yang besar dari kita semua. Dari publik."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Benarkah Tiongkok Naikkan Harga Tabung Oksigen untuk India?

Berita Terkait