Putusan Kasasi MA, Terdakwa Pemerkosa Anak Divonis 200 Bulan Penjara

Rabu, 22 September 2021 – 05:03 WIB
Ilustrasi - Palu Hakim (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

jpnn.com, BANDA ACEH - Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis bebas Mahkamah Syar’iyah Aceh terhadap terdakwa pemerkosa anak berinisial DP. 

MA lantas memberikan hukuman 200 bulan penjara (16 tahun enam bulan) kepada DP, dikurangi masa tahanan yang sudah dijalani. 

BACA JUGA: Marbot Pemerkosa Anak di Bawah Umur Divonis Kebiri Selama 2 Tahun

Vonis 200 bulan penjara tersebut diputuskan MA lewat putusan kasasi dengan Nomor 8 K/Ag/JN/2021.

"Vonis bebas Mahkamah Syar'iyah Aceh akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung, dan terdakwa dihukum 200 bulan penjara," kata Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh Rosmawardani di Banda Aceh, Selasa (21/9).

BACA JUGA: KPK Ajukan Kasasi ke MA Terkait Vonis Dirut PT CMI

Sebelumnya, DP yang merupakan paman korban divonis bersalah oleh majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Jantho, dan dijatuhi hukuman 200 bulan penjara atau 16 tahun enam bulan. 

Namun, di tingkat banding, terdakwa DP divonis bebas oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh dengan nomor perkara 7/JN/2021/MS. Aceh tertanggal 20 Mei 2021.

BACA JUGA: KY dan MA Diminta Selidiki Vonis Bebas kepada Bandar Narkoba

Kemudian, jaksa penuntut umum Kejari Aceh Besar melakukan upaya hukum kasasi ke MA atas putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh tersebut. 

Menurut Rosmawardani, dalam putusan kasasi MA tersebut hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yang memiliki hubungan mahram dengannya, sebagaimana diatur Pasal 49 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014.

Oleh karena itu, kata dia, MA memutuskan menghukum terdakwa dengan uqubat penjara selama 200 bulan, dan dikurangi masa penahanan yang telah dijalani.

"Hukumannya di atas hukuman maksimal versi Undang-Undang Perlindungan Anak yakni maksimal 15 tahun. Lalu apa yang harus kita pertanyakan lagi dengan kewenangan menangani perkara anak di Mahkamah Syar'iyah," ujarnya.

Sebelumnya, kasus sempat menjadi perbincangan hangat dan kehebohan di tengah masyarakat Aceh, lantaran adanya vonis bebas dari Mahkamah Syariah Aceh.

Menyikapi hal itu, Rosmawardani menjelaskan bahwa lembaga peradilan mulai dari Mahkamah Syar'iyah tingkat kabupaten/kota, tingkat banding serta MA adalah satu kesatuan yang tidak bisa dikotomi.

"Maka, ketika putusan tingkat kasasi berbeda dengan tingkat banding atau tingkat pertama, hal itu merupakan salah satu bagian dari kebebasan hakim, dan dibenarkan oleh undang-undang," katanya.

Dia menjelaskan dalam kasus ini putusan MA berbeda dengan Mahkamah Syar'iyah tingkat banding, tetapi sama dengan putusan Mahkamah Syar'iyah tingkat pertama.

Rosmawardani menuturkan, apabila terdapat putusan Mahkamah Syar'iyah yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkrah) disebabkan masih ada upaya hukum berikutnya, maka sebaiknya menahan diri untuk tidak memberikan komentar yang dapat memengaruhi persepsi masyarakat ke arah negatif bagi lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Syar'iyah di Aceh.

"Sebab dengan terbentuknya persepsi negatif oleh masyarakat terhadap lembaga Mahkamah Syar'iyah di Aceh, hal itu akan menjadi kontraproduktif terhadap penegakan syariat Islam di bumi Aceh yang sangat kita cintai ini," pungkas Rosmawardani.  (antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler