JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang diajukan David Barangkea dan Komarudin Watubun Tanawani Mora.
Dengan dikabulkanya gugatan ini, seorang calon kepala daerah Papua harus mendapat pengakuan masyarakat hukum adat sebagai suku asli Papua dan bukan kewenagan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menentukan keabsahan suku bakal calon tersebut.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata ketua majelis hakim, Mahfud MD membacakan amar putusan, di gedung MK, Jakarta, Kamis (29/9).
Menurut Mahkamah, Pasal 20 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua mengenai status seseorang sebagai orang asli Papua.
“Ini sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf t Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang bakal menjadi calon gubernur atau calon wakil gubernur adalah berdasarkan pengakuan dari suku asli di Papua asal bakal calon gubernur atau wakil gubernur yang bersangkutan,” ujar Mahfud.
Menurut Mahkamah, Pasal 20 ayat 1 huruf a UU 21/2011 yang menentukan, MRP mempunyai tugas dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan DPRP adalah ketentuan yang kabur dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, serta dapat menimbulkan pelanggaran hak-hak konstitusional bagi suku-suku asli di Papua sebagai kesatuan masyarakat hukum adat maupun bagi perseorangan warga suku asli tersebut.
Karenanya menurut Mahkamah, hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat mengenai kriteria, mekanisme, dan prosedur seseorang untuk menjadi anggota kesatuan masyarakat hukum adat haruslah didasarkan pada ketentuan internal dari kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan bukan atas keputusan MRP.
“Keberadaan MRP akan bertentangan dengan semangat lahirnya otonomi khusus bagi Provinsi Papua, jika dalam menjalankan tugas dan kewenangannya justru mengabaikan hak-hak asli masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Papua,” kata hakim Ahmad Fadlil Sumadi(kyd/jpnn)
BACA JUGA: Mogok Bahas Anggaran, Kader Demokrat Terancam Sanksi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Politisi PKS Pertanyakan Komitmen SBY soal HAM
Redaktur : Tim Redaksi