jpnn.com, JAKARTA - Sebanyak 16 guru besar dan pengajar fakultas hukum yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) melaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman kepada Majelis Kehormatan MK.
Mereka didampingi oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Indonesia Memanggil Lima Tujuh (IM57).
BACA JUGA: Anwar Usman Bantah Putusan MK Berpihak ke Gibran, ICW: Argumentasi Konyol
Laporan tersebut buntut dari dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi dalam hal ini Anwar Usman karena diduga ada konflik kepentingan dalam putusan syarat usua capres-cawapres.
“Ada empat poin yang kami laporkan, yang ditujukan kepada Ketua MK Anwar Usman,” ujar Program Manager PSHK Indonesia Violla Reininda saat konferensi pers usai mengajukan laporan itu di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (26/10).
BACA JUGA: Duet Visioner, Prabowo-Gibran Punya Peta Jalan Jelas Mewujudkan Indonesia Emas 2045
Poin pertama ialah potensi conflict of interest ketika terhadap Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberikan ruang kepada keponakan Anwar, yakni Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang kini mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden 2024.
Kedua, berkaitan dengan kepemimpinan Anwar yang dianggap tidak menaati hukum karena tidak sesuai dengan prosedur.
BACA JUGA: Dipimpin Rosan Roeslani, TKN Prabowo-Gibran Diumumkan Pekan Ini
“(Kemudian) Ketiadaan judicial leadership ini berkaitan dengan kepemimpinan beliau ketika menghadapi adanya concurring opinion dari dua hakim konstitusi yang substansinya ternyata dissenting opinion,” kata dia.
Yang terakhir, adalah berkaitan dengan komentar Anwar ketika perkara belum diputus. Namun, Anwar memberikan komentar tentang substansi pengujian UU tentang syarat usia menjadi calon presiden dan wakil presiden.
“Kami mendorong bahwa proses ini ditemukan adanya dugaan pelanggaran yang berat terutama terkait dengan conflict of interest bisa memberikan sanksi yang setara atau sanksi yang berat berupa pemberhentian secara tidak hormat,” tutur Violla.
Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan pemohon mencabut gugatan uji materi Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, berkaitan dengan usia minimal capres dan cawapres.
Perkara Nomor 100/PUU-XXI/2023 tersebut diajukan oleh warga negara Indonesia (WNI) bernama Hite Badenggan Lumbantoruan dan Marson Lumban Batu.
"Menetapkan mengabulkan penarikan kembali permohonan para pemohon," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan atau ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta, Senin (2/10).
Anwar menyebutkan MK telah menyelenggarakan persidangan pada 13 September 2023 dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dan Mahkamah telah memberikan nasihat sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang MK.
Namun, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan kedua pada tanggal 26 September 2023, para pemohon menyampaikan surat permohonan pencabutan perkara dengan alasan pemohon merasa argumentasi permohonan masih lemah.
"Alasan yang pertama, kami juga menerima nasihat Yang Mulia soal sidang pertama, Yang Mulia. Ya, begitu, Yang Mulia. Masih lemahnya argumentasi kami, Yang Mulia," kata Hite dikutip dalam risalah persidangan yang diunduh dari laman resmi MK RI di Jakarta, Senin.
Atas permohonan pencabutan perkara tersebut, MK melakukan rapat permusyawaratan hakim dan berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali Perkara Nomor 100/PUU-XXI/2023 itu beralasan menurut hukum.
Anwar menyebutkan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang MK, penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali.
"Menyatakan para pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo," ujar Anwar. (mcr4/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi